Sistem Hukum Singapura


A. SEJARAH KONSTITUSIONAL DAN HUKUM
          1. Kedatangan Inggris – Singapura dalam Kerajaan Inggris (1819)
a Pada Awal abad ke-19: Singapura berada di bawah kekuasaan Sultan Johor, yang menetap di kepulauan Riau-Lingga. Kombinasi tradisi Melayu dan hukum adat (yaitu hukum dan kebiasaan tradisional yang secara lokal berlaku di Indonesia dan Malaysia) telah membentuk dasar bagi sistem hukum awal yang berlaku bagi masyarakat nelayan pada waktu itu yang jumlahnya tidak lebih dari 200 orang.
b. Tanggal 29 Januari 1819: Pendirian Singapura modern oleh Raffles, yang pada saat itu adalah Letnan-Gubernur Bengkulu. Raffles telah sanggup meramal ke depan dan menentukan bahwa Singapura sebagai lokasi yang strategis secara geo-politis: hal ini telah menjadikan Singapura sebagai titik kontrol yang sangat baik bagi Kerajaan Inggris untuk mengawasi gerbang masuk menuju Selat Malaka dan rute pelayaran utama antara Asia Selatan dan Asia Timur Laut. Secara cepat, Singapura telah berevolusi menjadi pelabuhan dagang yang penting.

c Selanjutnya tanggal 30 Januari 1819: Raffles membuat suatu perjanjian awal dengan Temenggong Abdu'r Rahman, perwakilan Sultan Johor di Johor dan Singapura, untuk mendirikan suatu pusat perniagaan (trading factory) di Singapura.

c Tanggal 6 Februari 1819: Suatu perjanjian formal dibuat antara Sultan Hussein dari Johor bersama Temenggong Abdu’r Rahman, masing-masing adalah penguasa de jure dan penguasa de facto Singapura waktu itu, untuk meresmikan perjanjian awal yang telah dibuat sebelumnya. Raffles kemudian menetapkan Singapura sebagai bagian dari yurisdiksi Bengkulu, yang kemudian berada di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal di Calcutta, India.

d Kemudian sekitar Tahun 1819 - 1823: Agar pemerintahan di Singapura berjalan dengan baik, Raffles menetapkan suatu kitab undang-undang yang dikenal dengan sebutan “Singapore Regulations” atau “Peraturan-peraturan Singapura” dan menetapkan suatu sistem hukum yang mendasar namun bersifat fungsional dengan penerapan hukum yang seragam yang berlaku bagi semua penduduk.

d. Pada bulan Maret 1824: Status Singapura sebagai daerah kekuasaan Inggris ditegaskan dalam Perjanjian Anglo-Belanda (Anglo-Dutch Treaty) dan Perjanjian Penyerahan Kekuasaan Treaty of Cession). Belanda mencabut semua keberatannya terhadap pendudukan Inggris atas Singapura dan menyerahkan Malaka, sebagai ganti pelepasan penguasaan Inggris atas pabrik-pabrik di Bengkulu dan Sumatera kepada Belanda. Kemudian, dalam tahun yang sama, perjanjian yang kedua dibuat dengan Sultan Hussein dan Temenggong Abdu’r Rahman, berdasarkan dimana Kesultanan Johor menyerahkan Singapura kepada Inggris sebagai ganti peningkatan pembayaran uang tunai dan pensiun.

2. Sistem Hukum yang Masih Baru – Suatu Awal yang Kacau Balau (1826 - 1867)

a Pada tanggal 27 November 1826: Piagam Keadilan Kedua (The Second Charter of Justice) disetujui oleh Parlemen Inggris atas petisi dari East India Company. Dalam Piagam tersebut ditetapkan pendirian Pengadilan Yudikatur (Court of Judicature) di Pulau Milik Pangeran Wales - Penang, Singapura dan Malaka, baik pengadilan perdata maupun pidana, yang sejajar dengan pengadilan-pengadilan sejenis di Inggris. Singapura bersama-sama dengan Malaka dan Penang (dua daerah pendudukan Inggris lainnya di Semenanjung Melayu) kemudian menjadi Daerah-daerah Pendudukan di Selat (Straits Settlements) pada tahun 1826, di bawah penguasaan India Britanika (British India). Piagam tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa hukum Inggris harus diterapkan di Singapura, namun diasumsikan bahwa Piagam tersebut telah meletakkan dasar hukum bagi penerimaan secara umum hukum Inggris di Singapura. Kasus hukum lokal sejak abad ke-19, setelah kasus terkenal Rev Willans (1858) di Penang, telah menyerap posisi hukum bahwa hukum Inggris (baik common law maupun equity yang berlaku pada 1826 maupun perundangan Inggris pra-1826) telah diperkenalkan kepada Singapura melalui The Second Charter of Justice.

b Pada tahun 1833 dengan adanya reorganisasi daerah-daerah yang dikuasai East India Company oleh Parlemen Inggris pada tahun 1833, Gubernur Jenderal India kemudian diberi wewenang untuk membuat peraturan perundangan yang berlaku bagi Daerah-daerah Pendudukan di Selat (Straits Settlements). Pada masa ini, muncul suatu ketidakpuasan pada sistem hukum yang ada, masyarakat bisnis lokal merasa tidak suka dengan kerangka yudisial yang dinilai tidak adil dan membuat keadilan diperlakukan secara menyedihkan.

c Pada Tahun 1855: Atas petisi East India Company, Piagam Keadilan Ketiga (The Third Charter of Justice) disetujui oleh Parlemen Inggris] agar dapat mempermudah penanganan pekerjaan di bidang hukum yang meningkat. Namun demikian, Piagam Ketiga tidak berhasil memperbaiki keadaan. Dengan dibubarkannya East India Company pada tahun 1858, maka Daerah-daerah Pendudukan di Selat (Straits Settlements) kemudian dialihkan ke dalam kekuasaan Pemerintah India. Namun, banyak suara tidak puas dari Straits Settlements yang diperintah di luar wilayah India, karena hal ini cenderung menimbulkan perasaan direndahkan, jika tidak diabaikan.

d. Pada tanggal 1 April 1867: Straits Settlements berubah menjadi Koloni Kerajaan (Crown Colony) di bawah yurisdiksi langsung Kantor Pemerintahan Kolonial (Colonial Office) di London. Tahun 1868: Mahkamah Agung untuk Straits Settlements didirikan, setelah dibubarkannya Pengadilan Yudikatur (Court of Judicature). Pada tahun 1873, terjadi lagi reorganisasi lanjutan yaitu dengan diberikannya kekuasaan kepada Mahkamah Agung untuk berfungsi sebagai Pengadilan Banding (Court of Appeal). Sebelumnya, upaya-upaya banding diajukan kepada Dewan Kerajaan (King-in-Council). Pada tahun 1878, sebagai akibat dari perubahan yang terjadi pada sistem yudisial Inggris, maka pengadilan-pengadilan di Singapura turut direstrukturisasi sedemikian sehingga serupa dengan pengadilan-pengadilan di bawah Pengadilan Tinggi Inggris (English High Court).

e Pada 1934: Pengadilan Banding Pidana (Court of Criminal Appeal) ditambahkan ke dalam struktur Mahkamah Agung.

3. Dari Inggris ke Jepang ke Inggris Lagi (1942 – 1945)

a. Pada sekitar bulan Februari 1942 - September 1945: Masa penjajahan Jepang atas Singapura. Nama “Singapura” diubah menjadi “Syonan” (Cahaya dari Selatan) dan dioperasikan di bawah pemerintahan militer Jepang. Akhir Perang Dunia II telah mengakibatkan Singapura berada di bawah pemerintahan sementara Pemerintah Militer Inggris (British Military Administration - BMA). Setelah masa ini, kekuasaan imperial kemudian mendorong penentuan nasib sendiri dan de-kolonisasi.

b. Selanjutnya tahun 1946: Daerah-daerah Pendudukan di Selat (Straits Settlements) dibebaskan. Penang dan Malaka menjadi bagian dari Malayan Union pada tahun 1946 dan setelah itu menjadi Persekutuan Tanah Melayu (Federation of Malaya) pada tahun 1948. Singapura dijadikan Koloni Kerajaan yang memiliki konstitusi sendiri. Kekuasaan sesungguhnya untuk memerintah dan membuat peraturan berada di tangan Gubernur dan pejabat-pejabat kolonial dengan sedikit porsi partisipasi dan perwakilan lokal, melalui pemilihan perwakilan terbatas di Dewan Legislatif (Legislative Council). Pemilihan perwakilan yang pertama dilakukan pada tahun 1948.

4. Menuju Pemerintahan Sendiri (1948 – 1959)

a..Pada tahun 1948-1960: Masa darurat. Pemerintah di Singapura dan Malaya (yang pada tahun 1957 menjadi Malaysia) mengawasi dengan ketat partai komunis (Communist Party of Malaya), yang telah mendeklarasikan tujuan mereka untuk mengambil alih Malaya dan Singapura dengan cara kekerasan. Peraturan-peraturan yang amat keras (seperti penjara tanpa proses pengadilan) telah ditetapkan sebagai upaya mengendalikan kegiatan-kegiatan frontal komunis bersatu.

b. Pada tahun 1953: Suatu Komite Konstitusional (Constitutional Commission), yang dipimpin oleh Sir George Rendel (‘Rendel Comission’) didirikan untuk menelaah konstitusi Negara Koloni itu dan untuk meningkatkan partisipasi publik dalam hal penatakelolaan sendiri (self-governance). Pemerintah menerima hampir semua laporan Komite termasuk transformasi Dewan Legislatif (Legislative Council) menjadi suatu dewan (chamber) yang terdiri dari para anggota yang dipilih secara langsung. Bagaimanapun, kekuasaan yang sesungguhnya masih berada di tangan Gubernur dan Pejabat-pejabat Anggota Dewan Menteri (Council of Ministers) dan bukan pada anggota Dewan terpilih tadi. Sehingga pada masa ini, Progressive Party merupakan partai politik unggul di Singapura yang telah memenangi pemilihan anggota Dewan Legislatif (Legislative Council) pada tahun 1948 dan 1951.

c. Tahun 1955: Dalam pemilihan anggota Majelis Legislatif (Legislative Assembly) yang pertama, partai Labour Front – yang dipimpin oleh David Saul Marshall – berhasil menggantikan posisi Progressive Party sebagai partai pemenang pemilihan, dengan memenangkan 10 dari 25 kursi. People’s Action Party (selanjutnya disebut ‘PAP’), yang didirikan pada tahun yang sama, memenangkan 3 kursi. Marshall kemudian dijadikan Menteri Kepala (Chief Minister) yang kemudian bersikeras untuk mempercepat gerakan menuju pemerintahan sendiri. Pembicaraan-pembicaraan konstitusional mengenai pemerintahan sendiri dimulai pada tahun 1956 di London, dengan misi tanpa pendukung (non-partisan mission) yang terdiri dari perwakilan-perwakilan seluruh partai dalam Majelis.

d. Tahun 1956: Marshall mengundurkan diri pada tanggal 6 Juni dari kedudukannya sebagai Menteri Kepala setelah gagalnya pembicaraan-pembicaraan konstitusional mengenai apakah Komisaris Tinggi Inggris (British High Commissioner) di Singapura memiliki hak suara atas Dewan Pertahanan (Defence Council) yang diusulkan. Lim Yew Hock, yang adalah wakil Marshall dan Menteri Perburuhan, kemudian menggantikannya menjadi Menteri Kepala (Chief Minister). Lim memimpin Misi Konstitusional pada bulan Maret 1957, yang berhasil menegosiasikan ketentuan-ketentuan utama Konstitusi Singapura (Singapore Constitution) yang baru.

e. Pada tanggal 8 Mei 1958: Perjanjian Konstitusional (The Constitutional Agreement) ditandatangani di London. Parlemen Inggris mengesahkan Undang-undang tentang Negara Singapura (The State of Singapore Act) pada tanggal 1 Agustus, yang menandai transisi Singapura dari negara koloni menjadi negara yang mengatur dirinya sendiri pada tahun 1959.

f Tanggal Mei 1959: Partai PAP memenangkan 43 kursi, yang merupakan 53,4% dari total suara, dalam pemilihan 51 perwakilan anggota Majelis Legislatif (Legislative Assembly) yang untuk pertama kalinya dipilih secara penuh. Pada tanggal 3 Juni, Konstitusi Negara (State Constitution) baru diberlakukan berdasarkan proklamasi Gubernur Sir William Goode, yang menjadi Kepala Negara Singapura pertama. Adapun Lee Kuan Yew menjadi Perdana Menteri Singapura pertama. Peristiwa ini menandakan titik kulminasi perjalanan menuju pemerintahan sendiri dan merupakan awal dari perjalanan sulit menuju kemerdekaan melalui penggabungan dengan Malaysia.

5. Singapura dalam Malaysia (1963 – 1965)

Pada tanggal 27 Mei 1961: Perdana Menteri Malaya, Tunku Abdul Rahman, mengusulkan kerja sama politik dan ekonomi yang lebih erat di antara Persekutuan Tanah Melayu (Federation of Malaya), Singapura, Sarawak, Borneo Utara dan Brunei, melalui suatu penggabungan. Partai PAP lebih memilih penggabungan dengan Persekutuan Tanah Melayu (Federation of Malaya) dengan alasan demi kelangsungan perekonomian dan sebagai cara untuk mencapai kemerdekaan politik dari Inggris. Para pendukung kaum komunis memandang usulan ini sebagai suatu skenario imperialis.

September 1962: Dilakukan suatu referendum untuk menentukan ketentuan-ketentuan penggabungan dan rencana penggabungan PAP disetujui. Ketentuan-ketentuan utama penggabungan menetapkan bahwa pemerintah federal di Kuala Lumpur bertanggung jawab untuk bidang pertahanan, urusan luar negeri dan keamanan dalam negeri. Namun, ditetapkan pula tentang otonomi lokal atas bidang keuangan, pendidikan dan perburuhan. Singapura juga diharuskan memiliki pemerintahan negara sendiri.

Pada tanggal 16 September 1963: Malaysia – yang terdiri dari Persekutuan Tanah Melayu (Federation of Malaya), Singapura, Sarawak dan Borneo Utara (sekarang Sabah) – dibentuk. Indonesia dan Filipina menentang penggabungan ini. Presiden Indonesia, Sukarno, meluncurkan kampanye keras Konfrontasi melawan Malaysia. Dengan penggabungan tersebut, sistem pengadilan Singapura menjadi bagian dari sistem pengadilan Malaysia. Mahkamah Agung Singapura diganti dengan Pengadilan Tinggi Malaysia di Singapura. Instansi pengadilan banding terakhir adalah Pengadilan Federal (Federal Court) di Kuala Lumpur.

6. Perpisahan dengan Malaysia dan Kemerdekaan (1965)

Pada tahun 1965 dalam waktu dua tahun sejak penggabungan, kesatuan itu gagal karena berbagai alasan, mulai dari politik rasial Malaysia sampai pertengkaran masalah pribadi. Kesemuanya ini, ditambah dengan ancaman dan ledakan kekerasan rasial serta ancaman komunis yang sekalipun telah berkurang, telah memicu pemisahan Singapura dari Malaysia pada tanggal 9 Agustus 1965. Perjanjian tentang Kemerdekaan Singapura (The Independence of Singapore Agreement) tanggal 9 Agustus 1965 mendeklarasikan bahwa, “… Singapura akan selamanya merupakan negara demokratis yang berdaulat dan merdeka yang didirikan berdasarkan prinsip-prinsip kemerdekaan, keadilan dan berusaha mencapai kesejahteraan serta kebahagiaan bagi warganegaranya dalam masyarakat yang lebih adil dan setara”.

Desember 1965: Yusof bin Ishak terpilih sebagai Presiden Singapura pertama pada tanggal 22 Desember 1965. Pada tanggal yang sama, Parlemen Singapura menyelesaikan penyusunan ‘tata tertib prosedur dan formalitas konstitusional dan hukum’ agar selaras dengan status Singapura sebagai negara merdeka, termasuk membereskan anomali Pengadilan Tinggi Singapura yang merupakan bagian dari sistem yudikatif Malaysia. Komite konstitusional kedua kemudian dibentuk, dipimpin oleh Hakim Kepala Wee Chong Jin, untuk menelaah bagaimana hak-hak golongan minoritas (tentang ras, bahasa dan agama) dapat secara konstitusional dilindungi. Dalam laporannya pada tahun 1966, Komite Wee (Wee Commission) merekomendasikan ditetapkannya ketentuan-ketentuan konstitusional mengenai kemerdekaan fundamental, badan yudikatif, badan legislatif, pemilihan umum, hak-hak minoritas, kedudukan khusus orang Melayu dan prosedur-prosedur perubahan (dalam hal ini, untuk mengubah ketentuan-ketentuan tersebut diperlukan proses (persetujuan] dua tahap: 2/3 mayoritas suara di Parlemen dan diikuti dengan 2/3 mayoritas suara pada referendum nasional). Satu rekomendasi yang diterima adalah dibentuknya Dewan Negara (State Council), yaitu suatu badan penasehat yang mengusulkan nasehat-nasehat kepada Parlemen mengenai suatu peraturan yang sedang diajukan dan dampaknya terhadap golongan minoritas. Badan ini sekarang dikenal dengan nama Dewan Kepresidenan untuk Bidang Hak-hak Minoritas (Presidential Council for Minority Rights).

B. PERKEMBANGAN SISTEM HUKUM SINGAPURA

Pada tahun 1970-an dan 1980-an terasa adanya kemudahan secara implisit karena telah mewarisi tradisi, kebiasaan dan hukum Inggris. Dorongan untuk menciptakan sistem hukum Singapura telah meningkatkan momentum pada akhir tahun 1980-an dan dipercepat dengan pengangkatan Hakim Kepala Yong Pung How pada bulan September 1990. Peristiwa ini berbarengan dengan masa penyusunan kembali secara konstitusional dan intensif untuk mengembangkan sistem pemerintahan dan parlemen sendiri milik Singapura. Ditinggalkannya sistem parlemen yang terinspirasi gaya Westminster telah dibuktikan melalui inovasi-inovasi, yang diupayakan untuk mengatasi keadaan politik yang unik di Singapura.

Tahun 1979: Ketentuan-ketentuan konstitusional dibuat untuk membentuk Komisaris Yudisial (Judicial Commissioners) yang berfungsi memfasilitasi penyelesaian perkara di Mahkamah Agung untuk suatu waktu yang terbatas yang dapat diperbaharui, yaitu antara 6 bulan sampai 3 tahun. Komisaris Yudisial juga dapat ditunjuk untuk memeriksa dan memutuskan suatu kasus tertentu saja. Komisaris Yudisial melaksanakan wewenang dan fungsi yang sama dengan Hakim Pengadilan Tinggi (High Court Justice) dan memiliki imunitas seperti yang dimiliki Hakim Pengadilan Tinggi, kecuali dalam hal tidak ada jaminan tentang jangka waktu masa jabatan. Sebelumnya, pada tahun 1971, Konstitusi Singapura telah diubah sedemikian rupa agar memungkinkan diangkatnya hakim-hakim tambahan, sehingga memungkinkan para Hakim Pengadilan Tinggi, yang seharusnya sudah pensiun pada usia 65 tahun, untuk tetap duduk di kursi hakim untuk masa jabatan yang lebih panjang berdasarkan suatu kontrak.

Tahun 1993: Penghapusan semua upaya banding ke Dewan Penasehat (Privy Council) (pada 1989, upaya-upaya banding ke Privy Council dilarang keras). Suatu Pengadilan Banding (Court of Appeal) yang permanen, dipimpin oleh Hakim Kepala (Chief Justice) dan dua Hakim Banding (Justices of Appeal), ditetapkan sebagai pengadilan tertinggi Singapura. Pada bulan November 1993, Undang-undang tentang Penerapan Hukum Inggris (The Application of English Law Act; Cap 7A, 1994 Rev Ed) diberlakukan dan menentukan sejauh mana hukum Inggris dapat diterapkan di Singapura.

Tanggal 11 Juli 1994: Suatu Pernyataan Praktek tentang Preseden Yudisial (The Practice Statement on Judicial Precedent) yang penting menyatakan bahwa keputusan-keputusan pengadilan Singapura terdahulu, yaitu Dewan Penasehat (Privy Council), demikian juga keputusan-keputusan Pengadilan Banding (Court of Appeal) yang dikeluarkan sebelumnya tidak lagi mengikat Pengadilan Banding permanen. The Practice Statement memberikan alasan bahwa “pembangunan hukum kita harus menunjukkan perubahan-perubahan ini [bahwa keadaan politik, sosial dan ekonomi telah mengalami perubahan sangat besar sejak kemerdekaan Singapura] serta menunjukkan nilai-nilai fundamental masyarakat Singapura”. Kepercayaan diri yang meningkat dalam pertumbuhan kedewasaan, kedudukan sistem hukum Singapura di dunia internasional, serta kekhawatiran bahwa hubungan Inggris yang meningkat dengan Uni Eropa akan mengakibatkan hukum Inggris menjadi tidak cocok lagi dengan perkembangan dan aspirasi dalam negeri [Singapura], telah memberikan dorongan untuk upaya-upaya pembentukan hukum sendiri.

1. Penerimaan Hukum Inggris

Sebelum diundangkannya Undang-undang tentang Penerapan Hukum Inggris (The Application of English Law Act; Cap 7A, 1994 Rev Ed), Piagam Keadilan Kedua (The Second Charter of Justice) menetapkan dasar hukum bagi penerimaan secara umum prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum Inggris (common law and equity) dan undang-undang Inggris pra-1826 di Singapura, dengan syarat harus memperhatikan kecocokan dan modifikasi sesuai kebutuhan dalam negeri. Namun, kesulitannya adalah tidak seorang pun yang tahu dengan pasti yang manakah dari undang-undang Inggris tersebut yang diterapkan di sini (bahkan undang-undang yang di Inggris telah dicabut).

Permasalahan ini menunjukkan dengan jelas penerimaan hukum Inggris secara spesifik berdasarkan Section 5 (sekarang sudah dicabut) dari Undang-undang tentang Hukum Perdata (the Civil Law Act; Cap 43, 1988 Rev Ed) yang menetapkan bahwa jika ada suatu pertanyaan atau masalah yang timbul di Singapura mengenai kategori hukum tertentu atau tentang hukum yang menyangkut perdagangan secara umum, maka hukum yang diterapkan dalam hal ini adalah hukum yang sama yang diterapkan di Inggris pada kurun waktu yang sama pula, kecuali jika terdapat ketentuan lain berdasarkan suatu hukum yang berlaku di Singapura. Sampai dengan dicabut pada tahun 1993, hal ini merupakan ketentuan penerimaan yang penting dalam kitab-kitab undang-undang Singapura. Pencabutannya juga telah menghapus banyak ketidakpastian dan keadaan-keadaan yang tidak memuaskan yang timbul dari suatu negara berdaulat, yang hingga kini sangat bergantung pada hukum dari bekas negara penjajahnya.

Undang-undang tentang Penerapan Hukum Inggris (The Application of the English Law Act) menetapkan bahwa common law Inggris (termasuk prinsip-prinsip dan aturan-aturan tentang keadilan), sepanjang masih menjadi bagian dari hukum Singapura sebelum 12 November 1993, akan tetap menjadi bagian dari hukum Singapura. Section 3 dari Undang-undang tersebut menetapkan bahwa bagaimanapun common law akan tetap berlaku di Singapura sepanjang hal tersebut dapat diterapkan pada keadaan-keadaan di Singapura dan harus dimodifikasi jika keadaan khusus di Singapura mengharuskannya. Section 4, dibaca bersamaan dengan the First Schedule, menentukan pengundangan peraturan-peraturan Inggris (baik seluruhnya maupun sebagian), dengan modifikasi yang diperlukan, yang diberlakukan atau terus diberlakukan di Singapura. Section 7 menetapkan berbagai perubahan pada undang-undang dalam negeri, dengan memasukkan peraturan hukum Inggris yang relevan.

2. Common Law Di Singapura
          a. Akar-akar Common Law
Common Law adalah sehelai benang penting dari lembar kain politik-hukum Singapura. Singapura telah mewarisi tradisi common law Inggris dan karenanya telah menikmati manfaat-manfaat kestabilan, kepastian dan internasionalisasi yang inheren dalam sistem Inggris (khususnya dalam bidang komersial/perdagangan). Singapura memiliki akar common law Inggris yang sama dengan yang dimiliki negara-negara tetangganya (seperti India, Malaysia, Brunei dan Myanmar), walaupun detil penerapan dan pelaksanaan dari masing-masing negara berbeda sesuai dengan kebutuhan dan kebijakan setiap negara.

b. Doktrin Preseden Yudisial (Judicial Precedent)

Pada intinya, sistem hukum common law Singapura dicirikan dari doktrin preseden yudisial (atau stare decisis). Berdasarkan doktrin ini, hukum itu dibangun dan dikembangkan terus oleh para hakim melalui aplikasi prinsip-prinsip hukum pada fakta-fakta dari kasus-kasus tertentu. Dalam hal ini, para hakim hanya diwajibkan untuk menerapkan ratio decidendi (atau alasan yang mempengaruhi diambilnya suatu keputusan) dari pengadilan yang tingkatnya lebih tinggi dalam hirarki yang sama. Jadi, di Singapura, ratio decidendi yang terdapat dalam keputusan-keputusan Pengadilan Banding Singapura (Singapore Court of Appeal) secara ketat mengikat Pengadilan Tinggi Singapura (Singapore High Court), Pengadilan Negeri (District Court) dan Pengadilan Magistrat (Magistrate’s Court). Di lain pihak, keputusan-keputusan pengadilan Inggris dan negara-negara Persemakmuran lainnya tidak secara ketat mengikat Singapura. Pernyataan-pernyataan yudisial lainnya (obiter dicta) yang dibuat dalam keputusan pengadilan yang lebih tinggi tingkatannya, yang tidak secara langsung mempengaruhi hasil akhir suatu kasus, dapat diabaikan oleh pengadilan yang lebih rendah tingkatannya.

Pengadilan yang lebih rendah tingkatannya, dalam beberapa kasus, dapat menghindarkan diri dari keharusan menerapkan ratio decidendi dari keputusan pengadilan yang lebih tinggi yang dikeluarkan sebelumnya, jika (a) pengadilan tersebut dapat membedakan secara material fakta-fakta kasus yang dibawa ke hadapannya dengan fakta-fakta dari keputusan yang sebelumnya pernah diambil oleh pengadilan yang lebih tinggi; atau (b) keputusan pengadilan yang lebih tinggi tersebut memang dibuat secara per incuriam (yaitu, tanpa menghiraukan doktrin stare dicisis).

3. Pengaruh dari dan Ditinggalkannya Common Law Inggris

Pengaruh besar dari hukum common law Inggris pada perkembangan hukum Singapura secara umum lebih terbukti dari beberapa bidang common law tradisional (seperti Perjanjian/Contract, Perbuatan Melawan Hukum/Tort dan Restitusi/Restitution) daripada bidang-bidang lain yang didasarkan pada undang-undang (seperti Hukum Pidana/Criminal Law, Hukum Perusahaan/Company Law dan Hukum Pembuktian/Law of Evidence). Mengenai bidang-bidang yang didasarkan pada undang-undang ini, negara-negara lain seperti India dan Australia telah amat mempengaruhi dari segi pendekatan dan isi dari beberapa undang-undang Singapura tersebut.

Namun, akhir-akhir ini tendensi pengadilan di Singapura yang dahulu selalu mengindahkan keputusan-keputusan Inggris telah secara signifikan mulai beralih menuju ditinggalkannya pengadilan-pengadilan Inggris tersebut (bahkan untuk bidang-bidang tradisional common law). Bahkan saat ini terdapat pengakuan yang lebih besar pada yurisprudensi lokal di dalam perkembangan common law di Singapura.

Dua contoh yang terjadi baru-baru ini, akan memberikan gambaran yang cukup jelas tentang hasrat Singapura mengembangkan sistem dan badan hukum sendiri. Dalam bidang perbuatan melawan hukum (torts), pengadilan-pengadilan Singapura telah secara sadar menyimpang dari exclusionary rule dalam kasus Inggris Murphy vs Pengadilan Negeri Brentford (1991) sehingga memungkinkan pemulihan kerugian secara ekonomi yang timbul dari tindakan kelalaian (negligent acts) atau kegagalan melakukan sesuatu (omissions) berdasarkan kasus Anns vs Merton (1978). Dalam kasus yang baru-baru ini terjadi, dalam bidang hukum perjanjian, yaitu kasus Chwee Kin Keong v Digilandmall.com Pte Ltd (2005) di Pengadilan Banding Singapura (Singapore Court of Appeal), pengadilan tersebut telah memilih untuk tidak mengadopsi pendapat dalam putusan Pengadilan Banding Inggris (the English Court of Appeal) dalam kasus Great Peace Shipping Ltd v Tsavliris Salvage (International) Ltd (2002) mengenai yurisdiksi yang adil (equity jurisdiction) dalam hal terjadi kesalahan unilateral. Kebutuhan untuk memiliki sistem hukum sendiri ini secara lebih jauh telah didorong oleh adanya perkembangan-perkembangan hukum Uni Eropa dan dampaknya bagi sistem Inggris.

4. Perbandingan Sistem Hukum Common Law dengan Sistem Hukum Civil Law

Sistem common law di Singapura mengandung perbedaan yang material dengan sistem hukum di beberapa negara Asia lainnya yang telah dipengaruhi oleh tradisi sistem civil law (seperti RRC, Vietnam dan Thailand) atau negara-negara yang sistem hukumnya merupakan campuran dari sistem civil law dan common law (misalnya Filipina).

Pertama-tama, sistem civil law tidak terlalu mengandalkan diri pada putusan pengadilan yang telah ada sebelumnya dan tidak tunduk pada doktrin stare decisis, tidak seperti halnya sistem common law sebagaimana dijelaskan di dalam Bagian 3.2 dan 3.3 di atas. Pengadilan-pengadilan common law seperti di Singapura pada umumnya mengambil pendekatan yang berlawanan (adversarial approach) di dalam proses litigasi antara para pihak yang bersengketa sedangkan hakim dari sistem civil law bertendensi untuk mengambil peran yang lebih aktif di dalam penemuan bukti dalam memutuskan perkara yang dihadapinya. Ketiga, di dalam sistem common law, banyak prinsip-prinsip hukum yang telah dikembangkan oleh para hakim sedangkan hakim dalam sistem civil law lebih mengandalkan diri pada kitab undang-undang yang umum dan lengkap yang mengatur berbagai bidang hukum.

Akan tetapi, perbedaan antara sistem hukum common law dan civil law sekarang menjadi lebih tidak kentara dibandingkan dengan masa yang lampau. Yurisdiksi common law, misalnya, telah mulai membuat peraturan-peraturan untuk mengisi kesenjangan yang terjadi di dalam sistem common law. Dalam hal ini, Singapura baru-baru ini telah mengundangkan berbagai undang-undang untuk mengatur berbagai bidang hukum tertentu (misalnya Contract (Rights of Third Parties) Act 2001 (Cap 53B, 2002 Rev Ed), Competition Act 2004 (No 46 of 2004) dan Consumer Protection (Fair Trading) Act) (Cap 52A, 2004 Rev Ed).

5. Common Law dan Equity

Menurut sejarah, di Inggris, prinsip Equity (atau raga dari prinsip-prinsip keadilan – fairness or justice) telah diterapkan oleh pengadilan-pengadilan untuk memperbaiki cacat atau kelemahan yang inheren dalam sistem common law yang kaku. Pada masa yang lalu di Inggris, pengadilan-pengadilan Chancery [Chancery courts] menjalankan Equity secara terpisah dari pengadilan-pengadilan common law. Namun, demarkasi sejarah tersebut tidaklah penting bagi Singapura di masa kini.

Menurut Undang-undang Hukum Perdata Singapura (Singapore Civil Law Act, Cap 43, 1999 Rev Ed), pengadilan-pengadilan Singapura diberi wewenang untuk menjalankan common law dan equity secara bersamaan. Dampak praktisnya adalah penggugat dapat mencari upaya-upaya hukum secara common law (Ganti rugi/Damages) dan secara equity (termasuk Putusan Sela/Injunctions dan Pelaksanaan Janji Tertentu/Specific Performance) dalam persidangan yang sama dan di hadapan pengadilan yang sama pula. Meskipun telah ada penghapusan pemisahan Common Law-Equity, prinsip Equity telah memegang peran yang bersifat menentukan, dalam perkembangan doktrin-doktrin tertentu dalam hukum perjanjian, termasuk doktrin Undue Influence dan Promissory Estoppel.

6. Publikasi Laporan-Laporan Hukum

Tanpa adanya publikasi secara reguler tentang preseden-preseden yudisial yang dapat diakses oleh para hakim dan penasehat hukum, maka common law Singapura tidak akan berkembang sepesat dan seekstensif sekarang. Laporan-laporan Hukum Singapura (Singapore Law Reports) merupakan publikasi utama/penting bagi putusan-putusan pengadilan Singapura sejak 1992. Sebelumnya, Malayan Law Journal merupakan sumber publikasi kasus-kasus lokal sejak 1932. Buku-buku hukum dan artikel-artikel jurnal mengenai bidang-bidang yang penting juga telah memberikan sumbangan bagi common law Singapura yang sedang tumbuh.

7. Hukum Islam (dalam Masalah Hukum Perorangan/Keluarga)

Di samping Common Law dan Equity, Pengadilan Syariah (Syariah Court) juga telah menerapkan/menjalankan hukum Islam untuk menangani masalah-masalah hukum tertentu mengenai perkawinan, perceraian, pembatalan perkawinan dan perpisahan yudisial di bawah Undang-undang Administrasi Hukum Islam (the Admintration of Muslim Law Act – AMLA, Cap 3, 1999 Rev Ed) yang berlaku untuk penduduk muslim atau para pihak yang menikah berdasarkan hukum Islam (walaupun Pengadilan Tinggi/High Court mempunyai yurisdiksi yang setara dengan Pengadilan Syariah/Syariah Court untuk masalah-masalah tertentu yang berhubungan dengan pemeliharaan/maintenance, pengasuhan/custody dan pemisahan harta/division of property). Untuk bidang waris/inheritance dan suksesi/succession, AMLA secara tegas menerima teks-teks Islami tertentu sebagai bukti dalam hukum Islam.

C. KONSTITUSI SINGAPURA

a. Undang-undang Tertinggi (Supreme Law)

Konstitusi (Constitution, 1999 Rev Ed) adalah undang-undang tertinggi di Singapura. Diamanatkan bahwa setiap peraturan yang bertentangan dengan Konstitusi adalah batal. Ketentuan-ketentuan dalam Konstitusi hanya dapat diubah berdasarkan persetujuan 2/3 suara dari jumlah total Anggota Parlemen terpilih. Sehubungan dengan perubahan-perubahan konstitusional tertentu untuk mengubah wewenang-wewenang memutuskan dari Presiden Terpilih dan ketentuan-ketentuan tentang kemerdekaan fundamental, bagaimanapun, disyaratkan juga persetujuan dari sedikitnya 2/3 dari jumlah total suara yang diambil oleh para pemilih (electorate) dalam suatu referendum nasional.

b. Hak-hak Fundamental

Konstitusi menetapkan hak-hak fundamental tertentu, seperti kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan berbicara (freedom of speech) dan persamaan hak (equal rights). Hak-hak individual ini tidaklah bersifat absolut melainkan dibatasi oleh kepentingan umum, seperti pemeliharaan ketertiban umum, moralitas dan keamanan nasional. Di samping perlindungan umum ras dan agama golongan minoritas, kedudukan kaum Melayu, sebagai masyarakat asli/pribumi Singapura, juga secara konstitusional diamanatkan.

D. WEWENANG DAN FUNGSI ORGAN-ORGAN NEGARA SINGAPURA

Konstitusi mengandung ketentuan-ketentuan yang secara tegas menentukan wewenang dan tugas/fungsi berbagai organ negara, termasuk badan legislatif/Legislature , badan eksekutif/Executive dan badan yudikatif/Judiciary .

a. Badan Legislatif.
Tugas utama Parlemen Singapura adalah mengundangkan undang-undang yang mengatur Negara. Proses pembuatan undang-undang dimulai dengan Rancangan Undang-Undang (“RUU”), yang biasanya disusun oleh pejabat-pejabat hukum Pemerintah. RUU-RUU yang berjenis private members jarang terdapat di Singapura. Selama masa diskusi dalam Parlemen mengenai suatu RUU yang penting, kadang-kadang para Menteri melakukan pidato atau presentasi yang mengesankan dalam upaya mereka mempertahankan RUU tersebut dan menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit yang diajukan oleh para penentangnya (backbenchers). Para Anggota Perlemen (Members of the Parliament – MPs), dalam beberapa hal, dapat memutuskan untuk menyerahkan RUU tersebut kepada suatu Komite Khusus (Select Committee) agar memeriksa/membahas dengan seksama dan melaporkan hasilnya kepada Perlemen. Jika laporan tersebut dinilai baik atau jika usulan perubahan-perubahan atas RUU tersebut disetujui oleh Parlemen, maka RUU tersebut diterima dan disetujui oleh Parlemen.
Dewan Kepresidenan untuk Hak-hak Minoritas (The Presidential Council for Minority Rights -- PCMR) yang dibentuk berdasarkan Konstitusi Singapura ditugasi untuk memeriksa/menelaah RUU-RUU dengan seksama, kecuali untuk beberapa RUU tertentu yang dikecualikan, untuk memastikan agar RUU yang diperiksanya itu dengan cara apapun tidak merugikan orang-orang dari golongan ras atau agama tertentu dan secara seimbang tidak pula merugikan golongan lainnya, baik yang secara langsung menaruh prasangka pada orang-orang dari golongan tertentu atau yang secara tak langsung memberikan keuntungan hanya pada suatu golongan tertentu lainnya. Jika laporan PCMR itu menunjukkan hasil yang baik atau jika persetujuan 2/3 mayoritas di Parlemen telah diterima untuk menyampingkan laporan PCMR yang menunjukkan hasil tidak baik, maka RUU tersebut, selanjutnya akan diteruskan kepada Presiden untuk disetujui. Pada tahap inilah RUU tersebut secara resmi telah diundangkan sebagai “undang-undang”.

b. Susunan Parlemen

Dari segi susunan, Parlemen Singapura terdiri dari para anggota yang dipilih dan para anggota yang tidak dipilih.

Anggota Parlemen yang dipilih berasal para calon angggota yang memenangi pemilihan umum yang diselenggarakan setiap 4 sampai 5 tahun. Pada saat ini, Parlemen didominasi oleh partai PAP yang sedang memimpin dan yang lain adalah sedikit perwakilan dari beberapa partai politik oposisi. Mereka (anggota dari partai politik oposisi) berasal dari campuran antara daerah-daerah pemilihan beranggota tunggal (single-member constituencies) dengan Daerah Pemilihan dengan Perwakilan Kelompok (Group Representation Constituencies - GRCs). GRC yang didirikan pada tahun 1988, saat ini terdiri dari 4 sampai 6 anggota, yang paling sedikit satu di antaranya harus merupakan perwakilan yang dipilih dari golongan minoritas. Tujuan utama GRC adalah untuk menjalankan multirasialisme dalam dunia politik Singapura.

Di lain pihak, Anggota Parlemen yang tidak dipilih tidak mempunyai hak suara dalam pengambilan suara/voting untuk perubahan-perubahan konstitusional, RUU keuangan dan mosi tidak percaya pada Pemerintah. Anggota Parlemen yang tidak dipilih ini terdiri dari dua kategori yang berbeda, yaitu: Anggota Parlemen Bukan Dari Daerah Pemilihan (Non-Constituency Members of Parliament - NCMPs) dan Anggota Parlemen Yang Dicalonkan (Nominated Members of Parliament - NMP).

Untuk menyalurkan suara politik yang berbeda di Parlemen, anggota NCMPs dipilih dari para calon anggota yang telah mengumpulkan persentase suara tertinggi di antara mereka “yang kalah” dalam pemilihan umum. Sebaliknya, anggota NMPs adalah para tokoh masyarakat non-politikus yang dicalonkan agar memberikan variasi yang lebih besar pada pandangan-pandangan non-partisan di Parlemen.

c. Badan Eksekutif

Pemimpin Badan Eksekutif adalah Presiden Terpilih. Kualifikasi atau persyaratan untuk jabatan kepresidenan sangatlah ketat. Di samping integritas, karakter baik dan syarat-syarat lainnya, calon presiden diharuskan telah menduduki jabatan tinggi selama tidak kurang dari 3 tahun di posisi yang ditentukan secara konstitusional, dewan resmi negara, perusahaan besar atau jabatan setingkat lainnya dalam organisasi atau departemen yang mempunyai ukuran besar dan kompleksitas yang setara (baik dari sektor publik maupun swasta), yang telah memberikan pengalaman dan kemampuan yang diperlukan untuk menjalankan tanggung jawab kepresidenan yang akan dipikulnya. Komite Pemilihan Presiden (Presidential Elections Committee) telah dibentuk untuk memastikan agar persyaratan-persyaratan tersebut terpenuhi.

Presiden Terpilih mengemban tugas menjaga cadangan devisa luar negeri negara dan mempertahankan hak veto atas pengangkatan para pegawai negeri yang memegang posisi kunci. Jika Presiden akan melepaskan tugas-tugas konstitusional ini, maka Presiden diharuskan berkonsultasi dengan Dewan Penasehat Presiden (Council of Presidential Advisers), suatu badan yang dibentuk berdasarkan Konstitusi Singapura.

d. Kabinet

Kabinet, yang berada di bawah wewenang Perdana Menteri (Prime Minister), bertanggung jawab secara kolektif kepada Parlemen. Perdana Menteri adalah seseorang yang dipilih oleh Presiden Terpilih, yang atas penilaian Presiden Terpilih dianggap akan dapat memperoleh kepercayaan dari mayoritas Anggota Parlemen.

Tidak ada pemisahan wewenang secara tegas antara Badan Eksekutif dengan Badan Legislatif. Dari segi komposisi, para anggota Kabinet dipilih dari Anggota Parlemen (Members of Parliament). Para Sekretaris Parlemen (Parliamentary Secretaries) selanjutnya dipilih dari para Anggota Parlemen untuk membantu kerja para Menteri. Selanjutnya, para Menteri dan badan-badan pemerintah yang terkait bertanggung jawab membuat peraturan-peraturan di tingkat yang lebih rendah sebagai pelaksanaan dari peraturan induk yang telah diundangkan oleh Parlemen.

e. Para Penasehat Hukum Pemerintah

Untuk segi hukum, Pemerintah dinasehati dan diwakili oleh Jaksa Agung (Attorney General) dan Pengacara Umum Negara (Solicitor-General) baik untuk masalah-masalah perdata maupun pidana. Juga ada bagian-bagian khusus dalam Kejaksaan Agung (Attorney General’s Chambers) yang menangani pembuatan rancangan/konsep peraturan, reformasi hukum dan urusan-urusan internasional.


f. Badan Yudikatif

Tingkat efisiensi dan kekuasaan Badan Yudikatif Singapura yang sangat tinggi telah memenangi penghargaan-penghargaan internasional dan reputasi internasional yang kuat (lihat peringkat sistem-sistem hukum dunia yang dibuat oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) dan Institute for Management Development (IMD)). Di bawah kepemimpinan Hakim Kepala (Chief Justice) Yong Pung How yang saat ini menjabat, pelaksanaan secara ketat manajemen kasus dan metode-metode Alternatif Penyelesaian Sengketa (lihat Bagian 9 di bawah ini) telah secara drastis mengurangi timbunan kasus yang telah lama bertumpuk di Mahkamah Agung (Supreme Court) dan Pengadilan-pengadilan Yang Lebih Rendah (Subordinate Courts) di masa yang baru saja berlalu.

Hakim di Singapura adalah arbiter baik dari segi hukum maupun fakta. Sistem juri/jury system telah secara keras dibatasi di Singapura dan akhirnya dihapuskan sepenuhnya pada tahun 1970. Wewenang yudisial diberikan kepada Mahkamah Agung/Supreme Court (yang terdiri dari Pengadilan Banding Singapura/Singapore Court of Appeal dan Pengadilan Tinggi/High Court) dan kepada Pengadilan-pengadilan Yang Lebih Rendah/Subordinate Courts.

Pengadilan tertinggi di Singapura adalah Pengadilan Banding permanen/permanent Court of Appeal, yang menangani kasus-kasus banding baik perdata maupun pidana, yang berasal dari Pengadilan Tinggi/High Court dan Pengadilan-pengadilan Yang Lebih Rendah/Subordinate Courts. Sebagai tonggak sejarah hukum yang penting di Singapura, pada tahun 1994, pengajuan-pengajuan banding ke Privy Council di Inggris dihapuskan. Pada tanggal 11 Juli 1994, suatu Pernyataan tentang Preseden Yudisial (Practice Statement on Judicial Precedent) yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Singapura memberikan penjelasan bahwa Pengadilan Banding Singapura/Singapore Court of Appeal tidak terikat pada keputusan-keputusannya sendiri maupun pada keputusan-keputusan terdahulu Privy Council. Namun, Pengadilan Banding Singapura/Singapore Court of Appeal akan tetap menganggap keputusan-keputusan tersebut mengikat secara normal, meskipun pengadilan tersebut dapat menyimpang dari preseden terdahulu jika dianggap benar untuk melakukannya.

Para Hakim Pengadilan Tinggi/High Court Judges menikmati jaminan masa tugas untuk jangka waktu tertentu, sementara para Komisaris Yudisial/Judicial Commissioners diangkat berdasarkan kontrak jangka pendek. Namun demikian, keduanya mempunyai wewenang yudisial dan imunitas yang sama. Wewenang yudisial mereka meliputi yurisdiksi tingkat awal (original) maupun tingkat banding (appellate) baik untuk perkara perdata maupun pidana. Pengangkatan para Hakim Pengadilan Tinggi baru-baru ini, yang khusus untuk menangani perkara arbitrase di Pengadilan Tinggi, telah menambah 2 jenis pengadilan khusus yang telah ada, yaitu: Pengadilan Maritim/Admiralty Court dan Pengadilan Hak Milik Intelektual/Intellectual Property Court.

Tribunal Konstitusional/Constitutional Tribunal khusus juga telah dibentuk yang berada di bawah yurisdiksi Mahkamah Agung/Supreme Court, untuk menangani pertanyaan-pertanyaan yang berdampak pada ketentuan-ketentuan konstitusional yang diserahkan oleh Presiden Terpilih.

Pengadilan-pengadilan Yang Lebih Rendah/Subordinate Courts (yang terdiri dari Pengadilan Negeri/District Courts, Pengadilan Magistrat/Magistrates’ Courts, Pengadilan Anak-anak/Juvenile Courts, Coroners Courts serta Tribunal Gugatan Kecil/Small Claims Tribunals) juga telah dibentuk dalam hirarki yudisial Singapura untuk melaksanakan keadilan dalam masyarakat. Dengan adanya peningkatan kecanggihan dalam dunia transaksi bisnis dan hukum, baru-baru ini telah dibentuk Pengadilan Negeri Urusan Niaga Perdata dan Pidana/Commercial Civil and Criminal District Courts dalam Subordinate Courts, untuk menangani kasus-kasus yang lebih kompleks.

Pengadilan Negeri/District Courts dan Pengadilan Magistrat/Magistrates’ Courts mempunyai wewenang yang sama dalam penanganan masalah-masalah tertentu seperti gugatan-gugatan yang mengandung unsur kontraktual dan perbuatan melawan hukum atas utang, tagihan atau kerugian dan tindakan-tindakan untuk pengembalian uang. Namun, yurisdiksi mereka dibatasi oleh besarnya nilai perkara, yaitu untuk kasus-kasus perdata senilai $ 60.000 Dolar Singapura untuk Pengadilan Magistrat dan $ 250.000 Dolar Singapura untuk Pengadilan Negeri. Pengadilan-pengadilan itu juga mempunyai perbedaan dari segi wewenang menghukum secara pidana. Batasan masa kurungan yang ditetapkan Pengadilan Magistrat adalah 2 tahun, sedangkan batasan masa kurungan yang ditetapkan Pengadilan Negeri adalah 7 tahun.

Di lain pihak, Tribunal untuk Gugatan Kecil/Small Claims Tribunals, dapat menangani kasus secara lebih cepat, hemat dan dengan proses yang tidak terlalu formal untuk memutuskan kasus-kasus gugatan kecil dengan batasan sebesar $20.000 Dolar Singapura (asalkan para pihak yang bersengketa sama-sama menyetujui secara tertulis).

Di samping pengadilan-pengadilan yang disebutkan di atas, Pengadilan Keluarga/Family Courts menangani masalah-masalah perceraian, pemeliharaan, perwalian dan adopsi.

Badan Yudikatif juga telah mengambil langkah-langkah penting dalam memanfaatkan teknologi informasi di pengadilan, yang telah meningkatkan tingkat efisiensi, setidaknya untuk sebagian hal. Pengadilan Berteknologi, misalnya, telah didirikan untuk memungkinkan adanya information sharing di antara para pengacara dan hakim dan pengajuan bukti-bukti oleh para saksi melalui konferensi video. Upaya-upaya hukum yang melibatkan suatu perusahaan atau seseorang individu dapat dimonitor melalui suatu fasilitas yang disebut Casewatch. Sistem Pengarsipan Elektronik/Electronic Filing System (EFS), suatu proyek gabungan antara Badan Yudikatif, Singapore Network Services dan Singapore Academy of Law (http://www.sal.org.sg) untuk memungkinkan pengarsipan, ekstraksi dan penyampaian dokumen-dokumen pengadilan serta pelacakan kasus secara elektronik, sekarang juga telah mencapai tahap penyempurnaan kembali untuk meningkatkan pelayanan pada para pemakai jasa. Berbagai inovasi teknologi informasi telah pula dimanfaatkan untuk memfasilitasi dan menyederhanakan berbagai proses pidana, yaitu pendaftaran dan pengelolaan kasus-kasus pidana (SCRIMS), pemrosesan biaya-biaya lalu lintas antara Polisi dan Pengadilan (TICKS 2000) dan pembayaran denda-denda pelanggaran lalu lintas yang kecil (ATOMS).