Kamis, 05 November 2015

Ketika Kabut Asap Mengepung


A. PERMASALAHAN HUKUM

Masalah lingkungan pada dasarnya menyangkut kualitas hidup manusia, karena itu berhubungan erat dengan prinsip-prinsip etika lingkungan dalam agama masing-masing masyarakat. Khususnya Agama Islam, wujud nyata kekuatan moral untuk pelestarian daya dukung lingkungan terdapat dalam Al Qur’an : Surat Al A’raat; ayat 56 : “Dan janganlah kamu merusak di muka bumi sesudah Tuhan membangunnya…” dan ayat 85 : “…Dan janganlah kurangi hak-hak manusia, dan jangan pula merusak di muka bumi, sesudah Tuhan membangunnya…”.Surat Al-Qashash; ayat 77 : “…Dan berbuat kebajikanlah kepada sesama makhluk hidup, sebagaimana Allah telah berbuat kebajikan kepadamu. Lagi pula, janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, karena Allah tidak menyenangi orang-orang yang suka berbuat kerusakan”. Dan Surat Ar-Rum; ayat 41 : “Telah timbul kerusakan-kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan perbuatan tangan manusia sendiri”.

Kekuatan moral untuk pelestarian daya dukung lingkungan yang terdapat di dalam Al Qur’an tersebut selanjutnya di implementasikan ke dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang secara tegas menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh sebab itu, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara untuk mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Namun negara telah gagal menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Indikasinya, maraknya pembakaran untuk membuka lahan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang relatif besar dan menimbulkan keresahan masyarakat .

Kebakaran yang mendorong kabut asap yang menghampiri Asia Tenggara saat ini, adalah buah dari produk kebijakan penggunaan lahan monokultur yang dipromosikan lewat kebijakan konversi secara luas lahan gambut dan hutan hujan padat karbon. Proses dimulai pada tiga-empat dekade lalu, saat konsesi Hak Pengusahaan (HPH) diberikan oleh mantan orang kuat Soeharto, yaitu sistem bagi-bagi lahan untuk menjaga politik patronase dan mempertahankan dukungan politik. Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah izin yang diberikan untuk melakukan pembalakan mekanis diatas hutan alam yang dikeluarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 Tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan.

Setelah kayu hutan habis, industri perkebunan datang untuk mengkonversi hutan bekas tebangan bagi industri kayu pulp, karet dan kelapa sawit. Sejak 1983 hingga sekarang, budidaya sawit telah berkembang menjadi 11 juta hektar, lahan untuk kayu pulp dan Hak Tanaman Industri (HTI) menjadi 4 juta hektar dan karet 2 juta hektar. Sejak saat itu, menjadi rahasia umum bahwa cara termurah membersihkan lahan adalah dengan menggunakan api. Peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR), Herry Purnomo, mengungkapkan (Rappler.com, 4/9/2015), “Kebakaran hutan adalah kejahatan terorganisasi karena lebih dari 90% disebabkan manusia atau sengaja dibakar. Tujuannya, membuka lahan perkebunan”. Menurut Herry Purnomo, pembakaran hutan merupakan cara yang paling murah untuk mengubah lahan hutan menjadi kebun kelapa sawit sekaligus mendongkrak harga lahan. Biaya lahan yang dibakar hanya $10-20 perhektar, sementara lahan yang dibersihkan secara mekanis membutuhkan $200 perhektar (BBC Indonesia, 24/9/2015).

B. PENYEBAB KEBAKARAN HUTAN DAN DAMPAKNYA

1. Faktor Penyebab Kebakaran Hutan
Seperti kejadian kebakaran pada umumnya, secara teoritis kebakaran hutan terjadi karena ada interaksi antara keberadaan bahan bakar, oksigen dan panas pada kondisi tertentu. Bila ketiga unsur tersebut ada secara bersamaan dan telah mencapai kondisi tertentu maka kebakaran akan terjadi. Oleh karena itu prinsip untuk menanggulangi kebakaran hutan adalah dengan memutus salah satu unsur tersebut. Biasanya dengan mengurangi keberadaan bahan bakar dan panas.

1.1 Penyebab alami
Kebakaran hutan secara alami banyak dipicu oleh petir, lelehan lahar gunung api, gesekan antara pepohonan yang menimbulkan percikan api. Sambaran petir dan gesekan pohon bisa berubah menjadi kebakaran bila kondisi hutannya memungkinkan, seperti kekeringan yang panjang. Di hutan-hutan seperti Amerika Serikat dan Kanada yang kering, sambaran petir bisa memicu kebakaran. Namun di hutan hujan tropis seperti Indonesia, hal ini sedikit mustahil. Karena petir biasanya akan diiringi oleh turunnya hujan. Dengan kata lain petir terjadi sepanjang hujan, jadi sangat tidak mungkin menimbulkan kebakaran. Pemicu alamiah lainnya adalah gesekan antara pepohonan. Hal ini pun biasanya hanya terjadi di hutan-hutan yang kering. Hutan hujan tropis memiliki kelembaban tinggi sehingga kemungkinan gesekan antar pohon menyebabkan kebakaran sangat kecil.

1.2 Disebabkan manusia
Kebakaran hutan yang dipicu kegiatan manusia bisa diakibatkan dua hal, secara sengaja dan tidak sengaja. Kebakaran secara sengaja kebanyakan dipicu oleh pembakaran untuk membuka lahan dan pembakaran karena eksploitasi sumber daya alam. Peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR), Herry Purnomo, mengungkapkan (Rappler.com, 4/9/2015), “Kebakaran hutan adalah kejahatan terorganisasi karena lebih dari 90% disebabkan manusia atau sengaja dibakar. Tujuannya, membuka lahan perkebunan”. Sedangkan kebakaran tak disengaja lebih disebabkan oleh kelalaian karena tidak mematikan api unggun, pembakaran sampah, membuang puntung rokok, dan tindakan kelalaian lainnya.

Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) merilis daftar perusahaan besar di balik kebakaran hutan dan lahan. Daftar itu hasil analisis kebakaran hutan dan lahan di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Hasil analisis menunjukkan mayoritas titik api di dalam konsesi perusahaan. Di HTI, terdapat 5.669 titik api sedangkan pada perkebunan sawit terdapat 9.168 titik api. Daftar berbagai grup besar terlibat membakar hutan dan lahan, di Kalimantan Tengah; Sinar Mas tiga anak perusahaan, Wilmar 14. Di Riau, anak usaha Asia Pulp and Paper (APP) enam, Sinar Mas (6), APRIL (6), Simederby (1), First Resources (1) dan Provident (1). Di Sumatra Selatan; (8) Sinar Mas dan 11 Wilmar, (4) Sampoerna, (3) PTPN, (1) Simederby, (1) Cargil dan (3) Marubeni. Kalimantan Barat Sinar Mas (6), RGM/ APRIL (6). Di Jambi Sinar Mas (2) dan Wilmar (2).

2. Dampak Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan berdampak besar bagi kehidupan manusia, baik dampak langsung maupun  dampak ekologis dan dampak ekonomi serta dampak kesehatan. Sebagian besar dampak tersebut bersifat merugikan. Meskipun tidak dipungkiri ada dampak menguntungkannya walapun resikonya tidak sebanding dengan keuntungan tersebut.

2.1 Dampak langsung
Kebakaran hutan menyebabkan kematian dan kerusakan ekosistem serta infrastruktur. Tak sedikit juga meminta korban jiwa manusia. Bahkan kebakaran besar tak jarang harus dilakukan evakuasi permukiman penduduk.

2.2 Dampak ekologis
Kebakaran hutan merupakan bencana bagi keanekaragaman hayati. Tak terhitung berapa jumlah spesies tumbuhan dan plasma nutfah yang hilang. Akibat rusaknya vegetasi menyebabkan hutan tidak bisa menjalankan fungsi ekologisnya secara maksimal. Kebakaran hutan juga menyebabkan hilangnya habitat bagi satwa liar penghuni hutan. Kebakaran hutan banyak melepaskan emisi karbon ke atmosfer. Karbon yang seharusnya tersimpan dalam biomassa hutan dilepaskan dengan tiba-tiba. Apalagi bila terjadi di tanah gambut, dimana lapisan tanah gambut yang kedalamannya  mencapai 10 meter ikut terbakar. Pengaruh pelepasan emisi ini ikut andil memperburuk perubahan iklim, meningkatkan suhu rata-rata permukaan bumi.

2.3 Dampak ekonomi
Secara ekonomi hilangnya hutan menimbulkan potensi kerugian yang besar. Setidaknya ada tiga kerugian yang dihitung secara ekonomi yakni, dari deforestasi, kehilangan keanekaragaman hayati dan pelepasan emisi karbon. Belum lagi dengan kerugian tidak langsung bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Menurut peneliti CIFOR, Herry Purnomo (BBC Indonesia, 27/10/2015), dampak ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari Rp. 200 Trilliun. Hitungan itu didasarkan pada angka kerugian pada tahun 1997 ditambah dengan kerugian yang dialami Malaysia dan Singapura. Hitungan itu masih sangat kasar dilihat dari kerugian ekonomi, tanaman yang terbakar, air yang tercemar, emisi, korban jiwa dan juga penerbangan.

2.4 Dampak kesehatan
Asap yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan berdampak langsung pada gangguan kesehatan, khususnya gangguan saluran pernapasan. Asap mengandung sejumlah gas dan partikel kimia yang menggangu pernapasan seperti seperti sulfur dioksida (SO2), karbon monoksida (CO), formaldehid, akrelein, nitrogen oksida (NOx) dan ozon (O3). Material tersebut memicu dampak buruk yang nyata pada manula, bayi dan pengidap penyakit paru. Meskipun tidak dipungkiri dampak tersebut bisa mengenai orang sehat. Jumlah penderita Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), berdasarkan data Badan Nasioanal Penanggulangan Bencana (BNPB); hingga 23 Oktober 2015 sebanyak 900.862 jiwa warga di Sumatera dan Kalimantan

2.5 Dampak Menguntungkan Dari Kebakaran hutan
Selain dampak merugikan di atas, ada beberapa dampak menguntungkan dari peristiwa kebakaran hutan. Kebakaran hutan membuat efek peremajan hutan. Abu sisa pembakaran menjadi mineral penting bagi tanah hutan. Biasanya setelah hutan habis terbakar akan tumbuh tunas-tunas baru yang berkembang sangat pesat karena tanah hutan menjadi subur. Selain itu, kebakaran hutan yang kecil atau dalam skala terbatas dapat menghindarkan kebakaran hutan yang lebih besar.
Membakar hutan juga sering digunakan sebagai salah satu metode pembersihan lahan untuk perkebunan dan pertanian. Humus yang terbakar menyuburkan tanah dan mempercepat penambahan mineral dalam tanah. Tanah hutan yang telah terbakar lebih subur untuk lahan pertanian atau perkebunan. Kebakaran hutan juga memusnahkan hama dan penyakit.

C. SARAN

Peranan Yudikatif dalam hal pengaturan hukum mengenai lingkungan hidup seharusnya lebih dimaksimalkan karena akar permasalahan sesungguhnya adalah buah dari produk kebijakan penggunaan lahan monokultur yang dipromosikan lewat kebijakan konversi secara luas lahan gambut dan hutan hujan padat karbon.