Jumat, 13 November 2015

Hukum Indonesia Berawal Dari Peradaban Lemuria


Hukum Indonesia dibentuk oleh perjalanan sejarah Bangsa Indonesia. Pertama kali kebudayaan yang ada di Indonesia adalah kebudayaan Lemuria, kebudayaan ini merupakan peradaban kuno yang ada sebelum peradaban Atlantis dan peradaban Mesir Kuno. Para peneliti menempatkan era kebudayaan Lemuria disekitar periode 75.000 Sebelum Masehi (SM) – 11.000 SM. Informasi tersebut diperoleh setelah Augustus Le Plongeon (1826-1908) seorang peneliti dan penulis pada abad ke-19 yang mengadakan penelitian terhadap situs-situs purbakala peninggalan bangsa Maya di Yucatan dan berhasil menterjemahkan beberapa lembaran catatan kuno peninggalan Bangsa Maya. Dari hasil terjemahan tersebut diperoleh beberapa informasi yang menunjukkan hasil bahwa bangsa Lemuria memang berusia lebih tua daripada peradaban nenek moyang mereka (Atlantis) dan mereka hidup dalam periode waktu yang sama, sebelum bencana gempa bumi dan tsunami dahsyat yang diakibatkan oleh letusan gunung berapi yang mengakibatkan wilayah peradaban Lemuria terbagi menjadi pulau-pulau besar dan kecil. Wilayah peradaban Lemuria tersebut masih ada sampai sekarang yang terdiri dari pulau Kalimantan, pulau Sulawesi, pulau Sumatera, pulau Jawa, pulau Papua dan sebagainya. Peradaban Lemuria sudah mengenal aktivitas pelayaran, memancing, menanam jauh sebelum peradaban lain melakukannya. 

Selain hasil penelitian Augustus Le Plongeon (1826-1908) yang menguak keberadaan peradaban Lemuria adalah hasil Laboratorium Beta Analityc Radiocarbon Dating (BETA) di Miami, Amerika Serikat, yang diakui secara internasional, yang berhasil menentukan umur atau usia absolut situs megalitikum hasil eskavasi di Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat yang menyatakan bahwa pada kedalaman 0,5 meter situs tersebut berusia 500 SM dan pada kedalaman 3 meter, situs ini berusia 4700 SM. Ditemukannya struktur batu pada kedalaman tersebut membuktikan bahwa di Indonesia pernah ada bangunan yang dibuat oleh manusia pada 4700 SM atau jauh lebih tua dari bangunan-bangunan kuno yang ada di dunia. Sebagai pembanding, bangunan piramida di Mesir dibuat pada sekitar 3000 SM. 

Masyarakat yang hidup pada masa peradaban Lemuria selain sudah mempunyai kemampuan mendirikan bangunan, mengolah sumber daya alam, masyarakat pada masa itu juga sudah memiliki kemampuan medis dan masih bisa ditemukan sampai sekarang; seperti teknik pengobatan patah tulang yang dilakukan masyarakat Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Bahkan teknik pengobatan ini tergolong lebih maju dibandingkan teknik pengobatan modern, jika pengobatan modern mengunakan cara ambutasi terhadap pasien yang mengalami patah tulang yang sangat parah sedangkan pengobatan peninggalan peradaban Lemuria mengunakan cara urut dengan mengunakan kemampuan spritual dan ramuan herbal (bedak kaledupa), alhasil tulang pasien sembuh seperti semula sebelum mengalami patah tulang. 

Di bidang hukum, pada peradaban Lemuria tidak mengenal kaidah-kaidah hukum yang kodifikasi seperti dilakukan bangsa Romawi akan tetapi hukum yang terbangun dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam menghadapi situasi dan kondisi tertentu, yang kemudian oleh masyarakat ditempatkan lebih dari sekadar norma kesopanan atau kesusilaan menjadi norma hukum (opinio juris sive necessitatis), tata cara hukum pada masa peradaban Lemuria oleh Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje pendahulunya disebut Hukum Adat. Masyarakat tradisional Indonesia yang bercorak patriarkhis, menempatkan tetua-tetua/ pemuka-pemuka adat sebagai tokoh penting yang menentukan hukum jika masyarakat menghadapi suatu persoalan. Meskipun tidak ketat mengikat, apa yang diputuskan akan diikuti jika terjadi lagi hal serupa. Jadi Mirip dengan sistem preseden. Peran tetua/ tokoh/ ketua suku menjadi sangat penting dalam membentuk hukum, sehingga dapat dipahami jika yang dipilih seharusnya yang paling berpengetahuan dan bijak.

Pada masa kolonial Belanda, dengan penerapan asas konkordansi, maka hukum yang berlaku di Hindia Belanda sejalan dengan hukum yang berlaku di Belanda. Belanda merupakan salah satu pendukung terkemuka sistem hukum Eropa Kontinental. Dengan demikian, secara mutatis mutandis sistem Eropa Kontinental dilaksanakan di Indonesia. Walaupun demikian pada dasarnya Belanda menganut politik hukum adat yang membiarkan hukum adat itu berlaku bagi golongan masyarakat Indonesia asli dan hukum Eropa berlaku bagi kalangan golongan Eropa yang bertempat tinggal di Indonesia (Hindia Belanda). Dengan demikian pada masa Hindia Belanda berlaku pluralisme hukum. Dengan adanya lembaga penundukan diri secara sukarela, banyak penduduk Indonesia saat itu menundukan diri untuk terikat pada Hukum Barat, terutama yang berusaha di bidang perdagangan. Dalam perkembangan hukum di Indonesia selanjutnya, tampak kuatnya pengaruh hukum kolonial dan cenderung meninggalkan hukum adat (Daniel S. Lev, 1990 : 438-473).

Setelah kemerdekaan, pengaruh sistem Eropa Kontinental tampak dalam semangat untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi. Meskipun Hukum Adat tetap diakui, tetapi pandangan yang lebih mengemuka adalah dalam pembangunan hukum maupun optimalisasi fungsi hukum sebagai sarana untuk melakukan rekayasa sosial dilakukan melalui peraturan perundang-undangan. Ajaran yang sangat berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat beberapa waktu sebelumnya, yaitu Mazhab Sejarah yang dipelopori oleh Von Savigny dan teori keputusan yang dikemukakan oleh Ter Haar, dianggap tidak relevan. Mazhab sejarah menyatakan bahwa hukum itu hinkt achter de feiten aan, hukum itu tidak dibuat tetapi tumbuh secara historis atas dasar peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi. Teori keputusan menyatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang diakui oleh penguasalah yang merupakan hukum. Kedua mazhab ini menyatakan bahwa hukum hanya menyangkut kejadian yang sudah sering terjadi. Kedua paham ini dianggap tidak sejalan dengan pembangunan yang identik dengan perubahan, dengan kemungkinan terjadinya hal-hal yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Dari sudut pandang ini inilah kedua mazhab ini dianggap tidak relevan (lihat antara lain Sunarjati Hartono, 1982).

Dalam perkembangannya kemudian, sebagai dampak pergaulan Indonesia dalam kancah internasional, munculah bidang-bidang hukum baru seperti corporative law, computer law, cyber law, dan sebagainya. Kebijakan dalam bidang-bidang ini dan kebijakan-kebijakan global lainnya, legitimasinya banyak mengacu pada Sistem Common law. Pemberian wewenang yang lebih luas kepada Pengadilan Agama, tidak hanya sekadar menangani nikah, talak, rujuk, juga membuat pengaruh Hukum Islam bagi warga Negara Indonesia yang beragama Islam semakin luas, setelah sebelumnya memberikan warna bagi Hukum Adat di beberapa tempat di Indonesia.

Sistem hukum di Indonesia dewasa ini adalah sistem hukum yang unik, sistem hukum yang dibangun dari proses penemuan, pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari beberapa sistem yang telah ada. Sistem hukum Indonesia tidak hanya mengedepankan ciri-ciri lokal, tetapi juga mengakomodasi prinsip-prinsip umum yang dianut oleh masyarakat internasional. Tidak hanya unik, sistem hukum Indonesia adalah sistem yang masih penuh dengan dinamika, untuk mencari format di mana ketertiban dan keteraturan hukum sipil mendapat tempat, dengan tidak mengesampingkan keluwesan hukum Anglo Saxon, serta tidak menghilangkan suasana kebatinan masyarakat Indonesia.

Pencermatan terhadap kondisi nyata sistem Hukum Indonesia dan Sistem Hukum yang dicita-citakan seharusnya menjadi bahan pertimbangan dalam pembangunan hukum, termasuk dalam pembangunan pendidikan hukum. Legislator yang handal dan Juris yang berkemampuan sama-sama diperlukan. Tetapi, ahli mana yang jumlahnya lebih banyak dibutuhkan, keahlian apa yang lebih banyak diperlukan tentu berbeda. Komitmen untuk menegakkan supremasi hukum selalu didengungkan, tetapi keberadaan hukum maupun sistem hukum bukanlah merupakan ciri mendasar dari supremasi hukum. Supremasi hukum ditandai dengan penegakan rule of law yang sesuai dengan, dan yang membawa keadilan sosial bagi masyarakat. Jadi yang terutama dan diutamakan adalah hukum dan sistem hukum yang membawa keadilan bagi masyarakat.