Kamis, 08 Oktober 2015

PEMBIMBING KEMASYARAKATAN ( PK ) UJUNG TOMBAK PEMASYARAKATAN BERSISTEM DUA


A. SISTEM HUKUM NASIONAL

     Banyak yang memberi definisi tentang istilah ini, ada yang mengatakan bahwa sistem adalah keseluruhan yang terdiri dari banyak bagian atau komponen yang terjalin dalam hubungan antara komponen yang satu dengan yang lain secara teratur, sedangkan hukum nasional adalah hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibentuk dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan, dasar, dan cita hukum suatu negara. ( pendapat Elias M. Awad, System Analysis and Design, Richard D. Irwin, Homewood, Illinois, 1979, hal. 4 ).

     Dalam konteks ini hukum nasional Indonesia adalah kesatuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibangun untuk mencapai tujuan negara yang bersumber pada Pembukaan dan Pasal-Pasal Undang-Undang Dasar 1945. Sebab, di dalam Pembukaan dan Pasal-Pasal Undang-Undang Dasar 1945 itulah terkandung tujuan, dasar, dan cita hukum negara Indonesia, nilai-nilai khas budaya bangsa Indonesia yang tumbuh dan berkembang dalam kesadaran hidup bermasyarakat selama berabad-abad. ( Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2006, hal. 21 ).

     Kaitannya dengan tugas dan fungsi Pembimbing Kemasyarakatan ( PK ), sebagai pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan terhadap anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana, adalah untuk mewujudkan cita-cita hukum ( Reichtsidee ) Negara Indonesia ( Pasa 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 “Negara Indonesia adalah negara hukum”.

     Apakah ini berarti hukum pemasyarakatan yang ada di Indonesia telah menjadi sesuatu yang sistemik, dengan kata lain apakah hukum pemasyarakatan yang ada di Indonesia telah terbangun menjadi sistem hukum ? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu harus dipastikan dulu apa yang dimaksud sebagai sistem hukum, untuk dapat dijadikan tolok ukur, karena mungkin saja yang terdapat di Indonesia adalah aturan-aturan hukum yang berserakan, yang tidak saling berhubungan, atau kalaupun berhubungan tidak saling mendukung, justru saling melemahkan.

     Suherman (2004: 10-11) tidak sependapat jika pengertian sistem hukum hanya penggabungan istilah sistem dan hukum. Menurutnya pengertian spesifik dalam hukum harus tercermin dari istilah sistem hukum. Suherman mengemukakan pendapat J.H. Merryman sebagai perbandingan. Menurutnya sistem hukum adalah suatu perangkat operasional yang meliputi institusi, prosedur atau aturan, dalam konteks hukum pemasyarakatan ini ada Balai Pemasyarakatan ( BAPAS ), ada prosedur yang mengatur peran Balai Pemasyarakatan ( BAPAS ) di dalam Pasal 1 (24) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak : “Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Bapas adalah unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang melaksanakan tugas dan fungsi penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan”, dan Balai Pemasyarakatan ( BAPAS ) menurut Pasal 3 huruf c Rancangan Undang-Undang ( RUU ) Sistem Pemasyarakatan adalah : “pranata yang menjalankan fungsi pembimbingan, pendampingan dan pengawasan untuk klien pemasyarakatan pada tahapan pra adjudikasi, adjudikasi dan post adjudikasi serta tahapan bimbingan lanjutan”.

     Kaidah hukum pemasyarakatan tersebut diatas menempatkan BAPAS sebagai ujung tombak dari pemasyarakatan, yang berfungsi pada proses peradilan sejak tahap pra adjudikasi, yaitu : proses dan tahap dalam peradilan pidana yang meliputi penyelesaian perkara di lingkup penyelidikan, penyidikan dan pra penuntutan, adjudikasi, yaitu : proses dan tahap dalam peradilan pidana yang meliputi penyelesaian perkara di pengadilan hingga tahap pembacaan putusan pengadilan, dan post adjudikasi, yaitu : proses dan tahap pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap di Lembaga Pemasyarakatan ( pembinaan di dalam tembok ) dan Balai Pemasyarakatan ( pembinaan di luar tembok berupa pemberiaan Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Bebas Bersyarat hingga masa hukuman tersebut selesai dilaksanakan ), serta After Care ( tahapan bimbingan lanjutan ) , yaitu : proses integrasi yang dimulai ketika Klien Pemasyarakatan telah selesai menjalani seluruh masa hukuman berdasarkan kebutuhan Klien Pemasyarakatan.

B. Tugas Dan Fungsi Pembimbing Kemasyarakatan ( PK )

     Unit kerja BAPAS, dalam hal ini Pembimbing Kemasyarakatan ( PK ), adalah pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan terhadap anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana. ( Pasal 1 (13) Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ).

     Tugas Pembimbing Kemasyarakatan ( PK ) dalam pembuatan penelitian kemasyarakatan ( LITMAS ) dan pendampingan anak yang berkonflik dengan hukum selaku tersangka / terdakwa dalam proses peradilan pidana anak, dan untuk tersangka dewasa dalam tindak pidana tertentu serta LITMAS untuk kepentingan perawatan tahanan dan pembinaan narapidana menunjukkan keterlibatan Pembimbing Kemasyarakatan ( PK ) sejak awal proses hukum hingga kembalinya seorang narapidana dan anak didik pemasyarakatan kepada masyarakat. Terkait dengan pembinaan Narapidana sebagai sebuah proses, harus dipahami bahwa reintegrasi dengan masyarakat ataupun program lanjutan setelah bebas ( after care ) ke masyarakat harus melalui sebuah perencanaan sejak seseorang dijatuhi ( vonis ) hukuman.

     Dalam Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners ditekankan bahwa proses integrasi kembali tidak dimulai setelah bebas tetapi sebuah proses berkelanjutan yang dimulai sejak jatuhnya hukuman. Disinilah seharusnya Pembimbing Kemasyarakatan ( PK ) sudah berperan untuk membuat rencana berkelanjutan dengan bekerjasama dengan unit kerja pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan ( LAPAS ). Sehingga LITMAS yang dilakukan sejak masa hukuman dijalankan (pre-entry), sudah dapat digunakan untuk menentukan program pembinaan yang tepat.

     Demikian pula pada saat proses admisi orientasi ( atau istilah yang dikenal saat ini adalah Masa Pengenalan Lingkungan / Mapenaling ), Pembimbing Kemasyarakatan ( PK ) dapat berperan menjelaskan tahapan yang akan dilalui saat menjalani hukuman di dalam tembok Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) dan hak-hak yang dimiliki dalam pembinaan seperti Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Cuti Bersyarat, hingga pada tahap akhir pada pembimbingan dan program perlakuan berkelanjutan setelah bebas (after care). Sebagai ujung tombak pemasyarakatan sudah seharusnya tugas dan fungsi Pembimbing Kemasyarakatan (PK) saat sekarang ini perlu disertai dengan penegasan implementasinya didalam sistem peradilan pidana anak maupun sistem pemasyarakatan agar hukum pemasyarakatan yang ada di Indonesia telah menjadi sesuatu yang sistemik, dengan kata lain hukum pemasyarakatan telah terbangun menjadi sistem hukum .

C. KESIMPULAN

     Selain dalam proses peradilan pidana, LITMAS juga dilaksanakan untuk pengalihan penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana (diversi). LITMAS diversi bertujuan untuk memberikan bantuan kepada penyidik anak, penuntut umum anak, dan hakim anak guna kepentingan pemeriksaan dalam proses persidangan, hal ini diatur dalam Pasal 9 (1) Huruf c Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak: “Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan Diversi harus mempertimbangkan hasil LITMAS dari BAPAS” dan Pasal 14 (2) : “Selama proses Diversi berlangsung sampai dengan kesepakatan Diversi dilaksanakan, Pembimbing Kemasyarakatan wajib melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan”.

     Untuk melaksanakan tugas dan fungsi tersebut dibutuhkan kondisi yang kondusif yang berkaitan dengan anggaran untuk melakukan LITMAS diversi dan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan anak yang berkonflik dengan hukum. Anggaran yang minim dapat berimplikasi terhadap buruknya kualitas LITMAS diversi serta membuka kemungkinan terjadinya penyimpangan-penyimpangan (korupsi). Hal lainnya yang perlu dicermati adalah tidak adanya standar baku dalam pembuatan LITMAS diversi untuk tersangka/terdakwa dewasa. Selain LITMAS diversi untuk tersangka/terdakwa dewasa, LITMAS pra adjudikasi dan adjudikasi serta LITMAS post adjudikasi yang berkontribusi atas pembimbingan dan program perlakuan berkelanjutan setelah bebas (after care).

     Kondisi eksternal juga mempengaruhi penerimaan hasil LITMAS, misalnya laporan yang disampaikan belum menjadi prioritas hakim dalam mengambil putusan. Namun demikian, beberapa beberapa daerah memang terdapat hakim yang benar-benar mempertimbangkan hasil LITMAS dan saran yang diberikan oleh Pembimbing Kemasyarakatan ( PK ). Status hasil LITMAS yang seharusnya mengikat, dan persoalan perspektif anak yang berkonflik dengan hukum harus diakui masih kurang dipahami oleh dunia peradilan baik hakim anak, jaksa anak maupun polisi anak, di mana hasil LITMAS bagi anak yang berkonflik dengan hukum belum menjadi bahan yang wajib menjadi rujukan dalam penyusunan dokumen-dokumen hukum yang terkait dengan proses peradilan pidana anak, seperti penyusunan dakwaan, penuntutan, hingga putusan hakim.

     Dalam konteks internal pemasyarakatan pun, BAPAS belum maksimal diposisikan sebagai unit yang penting. Misalnya koordinasi antara LAPAS dengan BAPAS, masih sebatas pembimbingan dan LITMAS terkait dengan pemberian pembebasan bersyarat dan cuti bersyarat narapidana dalam LAPAS. Seringkali dalam praktiknya, pemberitahuan dan permohonan akan Litmas oleh Lapas tidak memberikan cukup waktu dan kurang terkoordinasi dengan baik, sehingga yang terjadi adalah terlambatnya proses dalam pengurusan pembebasan bersyarat.

     Bahkan terdapat kebijakan yang justru mereduksi peran BAPAS dalam proses pembinaan di LAPAS, seperti kebijakan terkait dengan cuti bersyarat yang tidak melibatkan BAPAS dalam proses pembuatannya namun cukup dibuat oleh wali warga binaan pemasyarakatan di LAPAS. Idealnya Litmas untuk cuti bersyarat pun menjadi kewenangan BAPAS. Berperannya BAPAS dalam proses pre-entry dan admisi orientasi di LAPAS sebenarnya dapat membantu LAPAS dalam menentukan program pembinaan, dan hal ini perlu untuk segera diimplementasikan guna mendukung keberhasilan proses pembinaan dalam LAPAS.

     Kerjasama dengan instansi lain dan kelompok masyarakat yang berhubungan dengan tugas BAPAS saat ini masih perlu didorong. Seperti dengan Kementerian Sosial atau lembaga non pemerintah yang memiliki perhatian dan keterkaitan kerja dengan BAPAS. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki saat ini dan tantangan kedepan, BAPAS seharusnya dapat mengembangkan kerjasama dengan instansi lain dan kelompok masyarakat untuk dapat membantu proses penguatan BAPAS sebagai bagian dari sistem pemasyarakatan dan sistem peradilan pidana anak, untuk mewujudkan cita-cita hukum ( Reichtsidee ) Negara Indonesia ( Pasa 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 “Negara Indonesia adalah negara hukum”.