Jumat, 13 November 2015

Hukum Indonesia Berawal Dari Peradaban Lemuria


Hukum Indonesia dibentuk oleh perjalanan sejarah Bangsa Indonesia. Pertama kali kebudayaan yang ada di Indonesia adalah kebudayaan Lemuria, kebudayaan ini merupakan peradaban kuno yang ada sebelum peradaban Atlantis dan peradaban Mesir Kuno. Para peneliti menempatkan era kebudayaan Lemuria disekitar periode 75.000 Sebelum Masehi (SM) – 11.000 SM. Informasi tersebut diperoleh setelah Augustus Le Plongeon (1826-1908) seorang peneliti dan penulis pada abad ke-19 yang mengadakan penelitian terhadap situs-situs purbakala peninggalan bangsa Maya di Yucatan dan berhasil menterjemahkan beberapa lembaran catatan kuno peninggalan Bangsa Maya. Dari hasil terjemahan tersebut diperoleh beberapa informasi yang menunjukkan hasil bahwa bangsa Lemuria memang berusia lebih tua daripada peradaban nenek moyang mereka (Atlantis) dan mereka hidup dalam periode waktu yang sama, sebelum bencana gempa bumi dan tsunami dahsyat yang diakibatkan oleh letusan gunung berapi yang mengakibatkan wilayah peradaban Lemuria terbagi menjadi pulau-pulau besar dan kecil. Wilayah peradaban Lemuria tersebut masih ada sampai sekarang yang terdiri dari pulau Kalimantan, pulau Sulawesi, pulau Sumatera, pulau Jawa, pulau Papua dan sebagainya. Peradaban Lemuria sudah mengenal aktivitas pelayaran, memancing, menanam jauh sebelum peradaban lain melakukannya. 

Selain hasil penelitian Augustus Le Plongeon (1826-1908) yang menguak keberadaan peradaban Lemuria adalah hasil Laboratorium Beta Analityc Radiocarbon Dating (BETA) di Miami, Amerika Serikat, yang diakui secara internasional, yang berhasil menentukan umur atau usia absolut situs megalitikum hasil eskavasi di Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat yang menyatakan bahwa pada kedalaman 0,5 meter situs tersebut berusia 500 SM dan pada kedalaman 3 meter, situs ini berusia 4700 SM. Ditemukannya struktur batu pada kedalaman tersebut membuktikan bahwa di Indonesia pernah ada bangunan yang dibuat oleh manusia pada 4700 SM atau jauh lebih tua dari bangunan-bangunan kuno yang ada di dunia. Sebagai pembanding, bangunan piramida di Mesir dibuat pada sekitar 3000 SM. 

Masyarakat yang hidup pada masa peradaban Lemuria selain sudah mempunyai kemampuan mendirikan bangunan, mengolah sumber daya alam, masyarakat pada masa itu juga sudah memiliki kemampuan medis dan masih bisa ditemukan sampai sekarang; seperti teknik pengobatan patah tulang yang dilakukan masyarakat Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Bahkan teknik pengobatan ini tergolong lebih maju dibandingkan teknik pengobatan modern, jika pengobatan modern mengunakan cara ambutasi terhadap pasien yang mengalami patah tulang yang sangat parah sedangkan pengobatan peninggalan peradaban Lemuria mengunakan cara urut dengan mengunakan kemampuan spritual dan ramuan herbal (bedak kaledupa), alhasil tulang pasien sembuh seperti semula sebelum mengalami patah tulang. 

Di bidang hukum, pada peradaban Lemuria tidak mengenal kaidah-kaidah hukum yang kodifikasi seperti dilakukan bangsa Romawi akan tetapi hukum yang terbangun dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam menghadapi situasi dan kondisi tertentu, yang kemudian oleh masyarakat ditempatkan lebih dari sekadar norma kesopanan atau kesusilaan menjadi norma hukum (opinio juris sive necessitatis), tata cara hukum pada masa peradaban Lemuria oleh Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje pendahulunya disebut Hukum Adat. Masyarakat tradisional Indonesia yang bercorak patriarkhis, menempatkan tetua-tetua/ pemuka-pemuka adat sebagai tokoh penting yang menentukan hukum jika masyarakat menghadapi suatu persoalan. Meskipun tidak ketat mengikat, apa yang diputuskan akan diikuti jika terjadi lagi hal serupa. Jadi Mirip dengan sistem preseden. Peran tetua/ tokoh/ ketua suku menjadi sangat penting dalam membentuk hukum, sehingga dapat dipahami jika yang dipilih seharusnya yang paling berpengetahuan dan bijak.

Pada masa kolonial Belanda, dengan penerapan asas konkordansi, maka hukum yang berlaku di Hindia Belanda sejalan dengan hukum yang berlaku di Belanda. Belanda merupakan salah satu pendukung terkemuka sistem hukum Eropa Kontinental. Dengan demikian, secara mutatis mutandis sistem Eropa Kontinental dilaksanakan di Indonesia. Walaupun demikian pada dasarnya Belanda menganut politik hukum adat yang membiarkan hukum adat itu berlaku bagi golongan masyarakat Indonesia asli dan hukum Eropa berlaku bagi kalangan golongan Eropa yang bertempat tinggal di Indonesia (Hindia Belanda). Dengan demikian pada masa Hindia Belanda berlaku pluralisme hukum. Dengan adanya lembaga penundukan diri secara sukarela, banyak penduduk Indonesia saat itu menundukan diri untuk terikat pada Hukum Barat, terutama yang berusaha di bidang perdagangan. Dalam perkembangan hukum di Indonesia selanjutnya, tampak kuatnya pengaruh hukum kolonial dan cenderung meninggalkan hukum adat (Daniel S. Lev, 1990 : 438-473).

Setelah kemerdekaan, pengaruh sistem Eropa Kontinental tampak dalam semangat untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi. Meskipun Hukum Adat tetap diakui, tetapi pandangan yang lebih mengemuka adalah dalam pembangunan hukum maupun optimalisasi fungsi hukum sebagai sarana untuk melakukan rekayasa sosial dilakukan melalui peraturan perundang-undangan. Ajaran yang sangat berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat beberapa waktu sebelumnya, yaitu Mazhab Sejarah yang dipelopori oleh Von Savigny dan teori keputusan yang dikemukakan oleh Ter Haar, dianggap tidak relevan. Mazhab sejarah menyatakan bahwa hukum itu hinkt achter de feiten aan, hukum itu tidak dibuat tetapi tumbuh secara historis atas dasar peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi. Teori keputusan menyatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang diakui oleh penguasalah yang merupakan hukum. Kedua mazhab ini menyatakan bahwa hukum hanya menyangkut kejadian yang sudah sering terjadi. Kedua paham ini dianggap tidak sejalan dengan pembangunan yang identik dengan perubahan, dengan kemungkinan terjadinya hal-hal yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Dari sudut pandang ini inilah kedua mazhab ini dianggap tidak relevan (lihat antara lain Sunarjati Hartono, 1982).

Dalam perkembangannya kemudian, sebagai dampak pergaulan Indonesia dalam kancah internasional, munculah bidang-bidang hukum baru seperti corporative law, computer law, cyber law, dan sebagainya. Kebijakan dalam bidang-bidang ini dan kebijakan-kebijakan global lainnya, legitimasinya banyak mengacu pada Sistem Common law. Pemberian wewenang yang lebih luas kepada Pengadilan Agama, tidak hanya sekadar menangani nikah, talak, rujuk, juga membuat pengaruh Hukum Islam bagi warga Negara Indonesia yang beragama Islam semakin luas, setelah sebelumnya memberikan warna bagi Hukum Adat di beberapa tempat di Indonesia.

Sistem hukum di Indonesia dewasa ini adalah sistem hukum yang unik, sistem hukum yang dibangun dari proses penemuan, pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari beberapa sistem yang telah ada. Sistem hukum Indonesia tidak hanya mengedepankan ciri-ciri lokal, tetapi juga mengakomodasi prinsip-prinsip umum yang dianut oleh masyarakat internasional. Tidak hanya unik, sistem hukum Indonesia adalah sistem yang masih penuh dengan dinamika, untuk mencari format di mana ketertiban dan keteraturan hukum sipil mendapat tempat, dengan tidak mengesampingkan keluwesan hukum Anglo Saxon, serta tidak menghilangkan suasana kebatinan masyarakat Indonesia.

Pencermatan terhadap kondisi nyata sistem Hukum Indonesia dan Sistem Hukum yang dicita-citakan seharusnya menjadi bahan pertimbangan dalam pembangunan hukum, termasuk dalam pembangunan pendidikan hukum. Legislator yang handal dan Juris yang berkemampuan sama-sama diperlukan. Tetapi, ahli mana yang jumlahnya lebih banyak dibutuhkan, keahlian apa yang lebih banyak diperlukan tentu berbeda. Komitmen untuk menegakkan supremasi hukum selalu didengungkan, tetapi keberadaan hukum maupun sistem hukum bukanlah merupakan ciri mendasar dari supremasi hukum. Supremasi hukum ditandai dengan penegakan rule of law yang sesuai dengan, dan yang membawa keadilan sosial bagi masyarakat. Jadi yang terutama dan diutamakan adalah hukum dan sistem hukum yang membawa keadilan bagi masyarakat.


Kamis, 05 November 2015

Ketika Kabut Asap Mengepung


A. PERMASALAHAN HUKUM

Masalah lingkungan pada dasarnya menyangkut kualitas hidup manusia, karena itu berhubungan erat dengan prinsip-prinsip etika lingkungan dalam agama masing-masing masyarakat. Khususnya Agama Islam, wujud nyata kekuatan moral untuk pelestarian daya dukung lingkungan terdapat dalam Al Qur’an : Surat Al A’raat; ayat 56 : “Dan janganlah kamu merusak di muka bumi sesudah Tuhan membangunnya…” dan ayat 85 : “…Dan janganlah kurangi hak-hak manusia, dan jangan pula merusak di muka bumi, sesudah Tuhan membangunnya…”.Surat Al-Qashash; ayat 77 : “…Dan berbuat kebajikanlah kepada sesama makhluk hidup, sebagaimana Allah telah berbuat kebajikan kepadamu. Lagi pula, janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, karena Allah tidak menyenangi orang-orang yang suka berbuat kerusakan”. Dan Surat Ar-Rum; ayat 41 : “Telah timbul kerusakan-kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan perbuatan tangan manusia sendiri”.

Kekuatan moral untuk pelestarian daya dukung lingkungan yang terdapat di dalam Al Qur’an tersebut selanjutnya di implementasikan ke dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang secara tegas menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh sebab itu, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara untuk mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Namun negara telah gagal menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Indikasinya, maraknya pembakaran untuk membuka lahan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang relatif besar dan menimbulkan keresahan masyarakat .

Kebakaran yang mendorong kabut asap yang menghampiri Asia Tenggara saat ini, adalah buah dari produk kebijakan penggunaan lahan monokultur yang dipromosikan lewat kebijakan konversi secara luas lahan gambut dan hutan hujan padat karbon. Proses dimulai pada tiga-empat dekade lalu, saat konsesi Hak Pengusahaan (HPH) diberikan oleh mantan orang kuat Soeharto, yaitu sistem bagi-bagi lahan untuk menjaga politik patronase dan mempertahankan dukungan politik. Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah izin yang diberikan untuk melakukan pembalakan mekanis diatas hutan alam yang dikeluarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 Tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan.

Setelah kayu hutan habis, industri perkebunan datang untuk mengkonversi hutan bekas tebangan bagi industri kayu pulp, karet dan kelapa sawit. Sejak 1983 hingga sekarang, budidaya sawit telah berkembang menjadi 11 juta hektar, lahan untuk kayu pulp dan Hak Tanaman Industri (HTI) menjadi 4 juta hektar dan karet 2 juta hektar. Sejak saat itu, menjadi rahasia umum bahwa cara termurah membersihkan lahan adalah dengan menggunakan api. Peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR), Herry Purnomo, mengungkapkan (Rappler.com, 4/9/2015), “Kebakaran hutan adalah kejahatan terorganisasi karena lebih dari 90% disebabkan manusia atau sengaja dibakar. Tujuannya, membuka lahan perkebunan”. Menurut Herry Purnomo, pembakaran hutan merupakan cara yang paling murah untuk mengubah lahan hutan menjadi kebun kelapa sawit sekaligus mendongkrak harga lahan. Biaya lahan yang dibakar hanya $10-20 perhektar, sementara lahan yang dibersihkan secara mekanis membutuhkan $200 perhektar (BBC Indonesia, 24/9/2015).

B. PENYEBAB KEBAKARAN HUTAN DAN DAMPAKNYA

1. Faktor Penyebab Kebakaran Hutan
Seperti kejadian kebakaran pada umumnya, secara teoritis kebakaran hutan terjadi karena ada interaksi antara keberadaan bahan bakar, oksigen dan panas pada kondisi tertentu. Bila ketiga unsur tersebut ada secara bersamaan dan telah mencapai kondisi tertentu maka kebakaran akan terjadi. Oleh karena itu prinsip untuk menanggulangi kebakaran hutan adalah dengan memutus salah satu unsur tersebut. Biasanya dengan mengurangi keberadaan bahan bakar dan panas.

1.1 Penyebab alami
Kebakaran hutan secara alami banyak dipicu oleh petir, lelehan lahar gunung api, gesekan antara pepohonan yang menimbulkan percikan api. Sambaran petir dan gesekan pohon bisa berubah menjadi kebakaran bila kondisi hutannya memungkinkan, seperti kekeringan yang panjang. Di hutan-hutan seperti Amerika Serikat dan Kanada yang kering, sambaran petir bisa memicu kebakaran. Namun di hutan hujan tropis seperti Indonesia, hal ini sedikit mustahil. Karena petir biasanya akan diiringi oleh turunnya hujan. Dengan kata lain petir terjadi sepanjang hujan, jadi sangat tidak mungkin menimbulkan kebakaran. Pemicu alamiah lainnya adalah gesekan antara pepohonan. Hal ini pun biasanya hanya terjadi di hutan-hutan yang kering. Hutan hujan tropis memiliki kelembaban tinggi sehingga kemungkinan gesekan antar pohon menyebabkan kebakaran sangat kecil.

1.2 Disebabkan manusia
Kebakaran hutan yang dipicu kegiatan manusia bisa diakibatkan dua hal, secara sengaja dan tidak sengaja. Kebakaran secara sengaja kebanyakan dipicu oleh pembakaran untuk membuka lahan dan pembakaran karena eksploitasi sumber daya alam. Peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR), Herry Purnomo, mengungkapkan (Rappler.com, 4/9/2015), “Kebakaran hutan adalah kejahatan terorganisasi karena lebih dari 90% disebabkan manusia atau sengaja dibakar. Tujuannya, membuka lahan perkebunan”. Sedangkan kebakaran tak disengaja lebih disebabkan oleh kelalaian karena tidak mematikan api unggun, pembakaran sampah, membuang puntung rokok, dan tindakan kelalaian lainnya.

Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) merilis daftar perusahaan besar di balik kebakaran hutan dan lahan. Daftar itu hasil analisis kebakaran hutan dan lahan di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Hasil analisis menunjukkan mayoritas titik api di dalam konsesi perusahaan. Di HTI, terdapat 5.669 titik api sedangkan pada perkebunan sawit terdapat 9.168 titik api. Daftar berbagai grup besar terlibat membakar hutan dan lahan, di Kalimantan Tengah; Sinar Mas tiga anak perusahaan, Wilmar 14. Di Riau, anak usaha Asia Pulp and Paper (APP) enam, Sinar Mas (6), APRIL (6), Simederby (1), First Resources (1) dan Provident (1). Di Sumatra Selatan; (8) Sinar Mas dan 11 Wilmar, (4) Sampoerna, (3) PTPN, (1) Simederby, (1) Cargil dan (3) Marubeni. Kalimantan Barat Sinar Mas (6), RGM/ APRIL (6). Di Jambi Sinar Mas (2) dan Wilmar (2).

2. Dampak Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan berdampak besar bagi kehidupan manusia, baik dampak langsung maupun  dampak ekologis dan dampak ekonomi serta dampak kesehatan. Sebagian besar dampak tersebut bersifat merugikan. Meskipun tidak dipungkiri ada dampak menguntungkannya walapun resikonya tidak sebanding dengan keuntungan tersebut.

2.1 Dampak langsung
Kebakaran hutan menyebabkan kematian dan kerusakan ekosistem serta infrastruktur. Tak sedikit juga meminta korban jiwa manusia. Bahkan kebakaran besar tak jarang harus dilakukan evakuasi permukiman penduduk.

2.2 Dampak ekologis
Kebakaran hutan merupakan bencana bagi keanekaragaman hayati. Tak terhitung berapa jumlah spesies tumbuhan dan plasma nutfah yang hilang. Akibat rusaknya vegetasi menyebabkan hutan tidak bisa menjalankan fungsi ekologisnya secara maksimal. Kebakaran hutan juga menyebabkan hilangnya habitat bagi satwa liar penghuni hutan. Kebakaran hutan banyak melepaskan emisi karbon ke atmosfer. Karbon yang seharusnya tersimpan dalam biomassa hutan dilepaskan dengan tiba-tiba. Apalagi bila terjadi di tanah gambut, dimana lapisan tanah gambut yang kedalamannya  mencapai 10 meter ikut terbakar. Pengaruh pelepasan emisi ini ikut andil memperburuk perubahan iklim, meningkatkan suhu rata-rata permukaan bumi.

2.3 Dampak ekonomi
Secara ekonomi hilangnya hutan menimbulkan potensi kerugian yang besar. Setidaknya ada tiga kerugian yang dihitung secara ekonomi yakni, dari deforestasi, kehilangan keanekaragaman hayati dan pelepasan emisi karbon. Belum lagi dengan kerugian tidak langsung bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Menurut peneliti CIFOR, Herry Purnomo (BBC Indonesia, 27/10/2015), dampak ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari Rp. 200 Trilliun. Hitungan itu didasarkan pada angka kerugian pada tahun 1997 ditambah dengan kerugian yang dialami Malaysia dan Singapura. Hitungan itu masih sangat kasar dilihat dari kerugian ekonomi, tanaman yang terbakar, air yang tercemar, emisi, korban jiwa dan juga penerbangan.

2.4 Dampak kesehatan
Asap yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan berdampak langsung pada gangguan kesehatan, khususnya gangguan saluran pernapasan. Asap mengandung sejumlah gas dan partikel kimia yang menggangu pernapasan seperti seperti sulfur dioksida (SO2), karbon monoksida (CO), formaldehid, akrelein, nitrogen oksida (NOx) dan ozon (O3). Material tersebut memicu dampak buruk yang nyata pada manula, bayi dan pengidap penyakit paru. Meskipun tidak dipungkiri dampak tersebut bisa mengenai orang sehat. Jumlah penderita Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), berdasarkan data Badan Nasioanal Penanggulangan Bencana (BNPB); hingga 23 Oktober 2015 sebanyak 900.862 jiwa warga di Sumatera dan Kalimantan

2.5 Dampak Menguntungkan Dari Kebakaran hutan
Selain dampak merugikan di atas, ada beberapa dampak menguntungkan dari peristiwa kebakaran hutan. Kebakaran hutan membuat efek peremajan hutan. Abu sisa pembakaran menjadi mineral penting bagi tanah hutan. Biasanya setelah hutan habis terbakar akan tumbuh tunas-tunas baru yang berkembang sangat pesat karena tanah hutan menjadi subur. Selain itu, kebakaran hutan yang kecil atau dalam skala terbatas dapat menghindarkan kebakaran hutan yang lebih besar.
Membakar hutan juga sering digunakan sebagai salah satu metode pembersihan lahan untuk perkebunan dan pertanian. Humus yang terbakar menyuburkan tanah dan mempercepat penambahan mineral dalam tanah. Tanah hutan yang telah terbakar lebih subur untuk lahan pertanian atau perkebunan. Kebakaran hutan juga memusnahkan hama dan penyakit.

C. SARAN

Peranan Yudikatif dalam hal pengaturan hukum mengenai lingkungan hidup seharusnya lebih dimaksimalkan karena akar permasalahan sesungguhnya adalah buah dari produk kebijakan penggunaan lahan monokultur yang dipromosikan lewat kebijakan konversi secara luas lahan gambut dan hutan hujan padat karbon. 



Kamis, 08 Oktober 2015

PEMBIMBING KEMASYARAKATAN ( PK ) UJUNG TOMBAK PEMASYARAKATAN BERSISTEM DUA


A. SISTEM HUKUM NASIONAL

     Banyak yang memberi definisi tentang istilah ini, ada yang mengatakan bahwa sistem adalah keseluruhan yang terdiri dari banyak bagian atau komponen yang terjalin dalam hubungan antara komponen yang satu dengan yang lain secara teratur, sedangkan hukum nasional adalah hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibentuk dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan, dasar, dan cita hukum suatu negara. ( pendapat Elias M. Awad, System Analysis and Design, Richard D. Irwin, Homewood, Illinois, 1979, hal. 4 ).

     Dalam konteks ini hukum nasional Indonesia adalah kesatuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibangun untuk mencapai tujuan negara yang bersumber pada Pembukaan dan Pasal-Pasal Undang-Undang Dasar 1945. Sebab, di dalam Pembukaan dan Pasal-Pasal Undang-Undang Dasar 1945 itulah terkandung tujuan, dasar, dan cita hukum negara Indonesia, nilai-nilai khas budaya bangsa Indonesia yang tumbuh dan berkembang dalam kesadaran hidup bermasyarakat selama berabad-abad. ( Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2006, hal. 21 ).

     Kaitannya dengan tugas dan fungsi Pembimbing Kemasyarakatan ( PK ), sebagai pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan terhadap anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana, adalah untuk mewujudkan cita-cita hukum ( Reichtsidee ) Negara Indonesia ( Pasa 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 “Negara Indonesia adalah negara hukum”.

     Apakah ini berarti hukum pemasyarakatan yang ada di Indonesia telah menjadi sesuatu yang sistemik, dengan kata lain apakah hukum pemasyarakatan yang ada di Indonesia telah terbangun menjadi sistem hukum ? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu harus dipastikan dulu apa yang dimaksud sebagai sistem hukum, untuk dapat dijadikan tolok ukur, karena mungkin saja yang terdapat di Indonesia adalah aturan-aturan hukum yang berserakan, yang tidak saling berhubungan, atau kalaupun berhubungan tidak saling mendukung, justru saling melemahkan.

     Suherman (2004: 10-11) tidak sependapat jika pengertian sistem hukum hanya penggabungan istilah sistem dan hukum. Menurutnya pengertian spesifik dalam hukum harus tercermin dari istilah sistem hukum. Suherman mengemukakan pendapat J.H. Merryman sebagai perbandingan. Menurutnya sistem hukum adalah suatu perangkat operasional yang meliputi institusi, prosedur atau aturan, dalam konteks hukum pemasyarakatan ini ada Balai Pemasyarakatan ( BAPAS ), ada prosedur yang mengatur peran Balai Pemasyarakatan ( BAPAS ) di dalam Pasal 1 (24) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak : “Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Bapas adalah unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang melaksanakan tugas dan fungsi penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan”, dan Balai Pemasyarakatan ( BAPAS ) menurut Pasal 3 huruf c Rancangan Undang-Undang ( RUU ) Sistem Pemasyarakatan adalah : “pranata yang menjalankan fungsi pembimbingan, pendampingan dan pengawasan untuk klien pemasyarakatan pada tahapan pra adjudikasi, adjudikasi dan post adjudikasi serta tahapan bimbingan lanjutan”.

     Kaidah hukum pemasyarakatan tersebut diatas menempatkan BAPAS sebagai ujung tombak dari pemasyarakatan, yang berfungsi pada proses peradilan sejak tahap pra adjudikasi, yaitu : proses dan tahap dalam peradilan pidana yang meliputi penyelesaian perkara di lingkup penyelidikan, penyidikan dan pra penuntutan, adjudikasi, yaitu : proses dan tahap dalam peradilan pidana yang meliputi penyelesaian perkara di pengadilan hingga tahap pembacaan putusan pengadilan, dan post adjudikasi, yaitu : proses dan tahap pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap di Lembaga Pemasyarakatan ( pembinaan di dalam tembok ) dan Balai Pemasyarakatan ( pembinaan di luar tembok berupa pemberiaan Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Bebas Bersyarat hingga masa hukuman tersebut selesai dilaksanakan ), serta After Care ( tahapan bimbingan lanjutan ) , yaitu : proses integrasi yang dimulai ketika Klien Pemasyarakatan telah selesai menjalani seluruh masa hukuman berdasarkan kebutuhan Klien Pemasyarakatan.

B. Tugas Dan Fungsi Pembimbing Kemasyarakatan ( PK )

     Unit kerja BAPAS, dalam hal ini Pembimbing Kemasyarakatan ( PK ), adalah pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan terhadap anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana. ( Pasal 1 (13) Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ).

     Tugas Pembimbing Kemasyarakatan ( PK ) dalam pembuatan penelitian kemasyarakatan ( LITMAS ) dan pendampingan anak yang berkonflik dengan hukum selaku tersangka / terdakwa dalam proses peradilan pidana anak, dan untuk tersangka dewasa dalam tindak pidana tertentu serta LITMAS untuk kepentingan perawatan tahanan dan pembinaan narapidana menunjukkan keterlibatan Pembimbing Kemasyarakatan ( PK ) sejak awal proses hukum hingga kembalinya seorang narapidana dan anak didik pemasyarakatan kepada masyarakat. Terkait dengan pembinaan Narapidana sebagai sebuah proses, harus dipahami bahwa reintegrasi dengan masyarakat ataupun program lanjutan setelah bebas ( after care ) ke masyarakat harus melalui sebuah perencanaan sejak seseorang dijatuhi ( vonis ) hukuman.

     Dalam Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners ditekankan bahwa proses integrasi kembali tidak dimulai setelah bebas tetapi sebuah proses berkelanjutan yang dimulai sejak jatuhnya hukuman. Disinilah seharusnya Pembimbing Kemasyarakatan ( PK ) sudah berperan untuk membuat rencana berkelanjutan dengan bekerjasama dengan unit kerja pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan ( LAPAS ). Sehingga LITMAS yang dilakukan sejak masa hukuman dijalankan (pre-entry), sudah dapat digunakan untuk menentukan program pembinaan yang tepat.

     Demikian pula pada saat proses admisi orientasi ( atau istilah yang dikenal saat ini adalah Masa Pengenalan Lingkungan / Mapenaling ), Pembimbing Kemasyarakatan ( PK ) dapat berperan menjelaskan tahapan yang akan dilalui saat menjalani hukuman di dalam tembok Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) dan hak-hak yang dimiliki dalam pembinaan seperti Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Cuti Bersyarat, hingga pada tahap akhir pada pembimbingan dan program perlakuan berkelanjutan setelah bebas (after care). Sebagai ujung tombak pemasyarakatan sudah seharusnya tugas dan fungsi Pembimbing Kemasyarakatan (PK) saat sekarang ini perlu disertai dengan penegasan implementasinya didalam sistem peradilan pidana anak maupun sistem pemasyarakatan agar hukum pemasyarakatan yang ada di Indonesia telah menjadi sesuatu yang sistemik, dengan kata lain hukum pemasyarakatan telah terbangun menjadi sistem hukum .

C. KESIMPULAN

     Selain dalam proses peradilan pidana, LITMAS juga dilaksanakan untuk pengalihan penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana (diversi). LITMAS diversi bertujuan untuk memberikan bantuan kepada penyidik anak, penuntut umum anak, dan hakim anak guna kepentingan pemeriksaan dalam proses persidangan, hal ini diatur dalam Pasal 9 (1) Huruf c Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak: “Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan Diversi harus mempertimbangkan hasil LITMAS dari BAPAS” dan Pasal 14 (2) : “Selama proses Diversi berlangsung sampai dengan kesepakatan Diversi dilaksanakan, Pembimbing Kemasyarakatan wajib melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan”.

     Untuk melaksanakan tugas dan fungsi tersebut dibutuhkan kondisi yang kondusif yang berkaitan dengan anggaran untuk melakukan LITMAS diversi dan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan anak yang berkonflik dengan hukum. Anggaran yang minim dapat berimplikasi terhadap buruknya kualitas LITMAS diversi serta membuka kemungkinan terjadinya penyimpangan-penyimpangan (korupsi). Hal lainnya yang perlu dicermati adalah tidak adanya standar baku dalam pembuatan LITMAS diversi untuk tersangka/terdakwa dewasa. Selain LITMAS diversi untuk tersangka/terdakwa dewasa, LITMAS pra adjudikasi dan adjudikasi serta LITMAS post adjudikasi yang berkontribusi atas pembimbingan dan program perlakuan berkelanjutan setelah bebas (after care).

     Kondisi eksternal juga mempengaruhi penerimaan hasil LITMAS, misalnya laporan yang disampaikan belum menjadi prioritas hakim dalam mengambil putusan. Namun demikian, beberapa beberapa daerah memang terdapat hakim yang benar-benar mempertimbangkan hasil LITMAS dan saran yang diberikan oleh Pembimbing Kemasyarakatan ( PK ). Status hasil LITMAS yang seharusnya mengikat, dan persoalan perspektif anak yang berkonflik dengan hukum harus diakui masih kurang dipahami oleh dunia peradilan baik hakim anak, jaksa anak maupun polisi anak, di mana hasil LITMAS bagi anak yang berkonflik dengan hukum belum menjadi bahan yang wajib menjadi rujukan dalam penyusunan dokumen-dokumen hukum yang terkait dengan proses peradilan pidana anak, seperti penyusunan dakwaan, penuntutan, hingga putusan hakim.

     Dalam konteks internal pemasyarakatan pun, BAPAS belum maksimal diposisikan sebagai unit yang penting. Misalnya koordinasi antara LAPAS dengan BAPAS, masih sebatas pembimbingan dan LITMAS terkait dengan pemberian pembebasan bersyarat dan cuti bersyarat narapidana dalam LAPAS. Seringkali dalam praktiknya, pemberitahuan dan permohonan akan Litmas oleh Lapas tidak memberikan cukup waktu dan kurang terkoordinasi dengan baik, sehingga yang terjadi adalah terlambatnya proses dalam pengurusan pembebasan bersyarat.

     Bahkan terdapat kebijakan yang justru mereduksi peran BAPAS dalam proses pembinaan di LAPAS, seperti kebijakan terkait dengan cuti bersyarat yang tidak melibatkan BAPAS dalam proses pembuatannya namun cukup dibuat oleh wali warga binaan pemasyarakatan di LAPAS. Idealnya Litmas untuk cuti bersyarat pun menjadi kewenangan BAPAS. Berperannya BAPAS dalam proses pre-entry dan admisi orientasi di LAPAS sebenarnya dapat membantu LAPAS dalam menentukan program pembinaan, dan hal ini perlu untuk segera diimplementasikan guna mendukung keberhasilan proses pembinaan dalam LAPAS.

     Kerjasama dengan instansi lain dan kelompok masyarakat yang berhubungan dengan tugas BAPAS saat ini masih perlu didorong. Seperti dengan Kementerian Sosial atau lembaga non pemerintah yang memiliki perhatian dan keterkaitan kerja dengan BAPAS. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki saat ini dan tantangan kedepan, BAPAS seharusnya dapat mengembangkan kerjasama dengan instansi lain dan kelompok masyarakat untuk dapat membantu proses penguatan BAPAS sebagai bagian dari sistem pemasyarakatan dan sistem peradilan pidana anak, untuk mewujudkan cita-cita hukum ( Reichtsidee ) Negara Indonesia ( Pasa 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 “Negara Indonesia adalah negara hukum”.



Rabu, 23 September 2015

RUPBASAN, Antara Ada Dan Tiada Dalam Sistem Peradilan Pidana

A. LATAR BELAKANG

      Dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Amandemen II Bab XA ( Pasal 28G (1) “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”, 28H (4) “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapa pun” dan 28I (1) “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” dan (5) “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”. ).
   Pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Amandemen II Bab XA tersebut menegaskan bahwa negara menjamin hak milik pribadi sebagai bagian dari hak asasi manusia, dan hak ini tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun. Termasuk dalam hal ini adalah hak milik seseorang yang sedang bermasalah dengan hukum. Hal ini mendasari pentingnya menyelenggarakan sebuah institusi yang memiliki kewenangan dalam mengelola hak milik pribadi seseorang yang sedang menjalani proses hukum dan hak milik tersebut menjadi barang sitaan negara.
Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara ( RUPBASAN ) merupakan institusi yang diberikan kewenangan melaksanakan tugas pengelolaan terhadap benda sitaan ( BASAN ) dan barang rampasan negara ( BARAN ). Kewenangan tersebut berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ), serta dijelaskan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP. RUPBASAN berada dibawah tanggung jawab Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, dan dalam pelaksanaan tugasnya RUPBASAN menjadi Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia .
     Benda sitaan ( BASAN ) mengandung pengertian sebagai benda yang disita oleh negara untuk keperluan proses peradilan ( Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), yang kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam Petunjuk Pelaksanaan / Petunjuk Teknis Nomor : E2.UM.01.06.86 Tentang Pengelolaan RUPBASAN, menjelaskan bahwa benda sitaan adalah benda yang disita oleh penyidik, penuntut umum, atau pejabat yang karena jabatannya mempunyai wewenang untuk menyita barang guna keperluan barang bukti dalam proses peradilan. Sedangkan barang rampasan negara ( BARAN ) adalah barang yang dirampas oleh dan untuk negara, berdasarkan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Barang rampasan ini selanjutnya dapat dieksekusi dengan cara : dimusnahkan, dilelang untuk negara, diserahkan kepada instansi yang ditetapkan untuk dimanfaatkan, atau disimpan di RUPBASAN untuk barang bukti dalam perkara lain.
      Tugas pokok dari RUPBASAN dalam pengelolaan ini antara lain:
a. Penerimaan, penelitian, penilaian, pendaftaran dan penyimpanan BASAN dan BARAN
b. Pemeliharaan BASAN dan BARAN
c. Pemutasian BASAN dan BARAN
d. Pengeluaran dan penghapusan BASAN dan BARAN
e. Penyelamatan dan pengamanan BASAN dan BARAN.
      Dalam rangkaian proses peradilan RUPBASAN memiliki peran penting dalam rangka penegakan hukum dan hak asasi manusia. Peran RUPBASAN ini terwujud dengan memberikan rasa aman kepada tahanan / pihak yang berperkara terhadap benda sitaannya berupa melakukan perlindungan atas hak kepemilikan atas benda serta keselamatan dan keamanan benda-benda yang disita untuk keperluan barang bukti pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di persidangan. RUPBASAN berperan besar dalam mengamankan aset negara yaitu dengan memberikan jaminan penyelamatan aset negara berupa BASAN yang diputus pengadilan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap dirampas untuk negara.
      Keberadaan RUPBASAN ditiap kabupaten dan kota diharapkan turut menjaga berjalannya proses peradilan dengan berazaskan pada keadilan, prinsip pengayoman dan perlindungan Hak Asasi Manusia, peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan, serta praduga tak bersalah untuk menjamin keutuhan barang bukti. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa RUPBASAN belum berdiri di setiap kabupaten dan kota, sehingga peran dan fungsi RUPBASAN dalam penegakan hukum masih jauh dari konsep yang telah ditetapkan dalam hukum acara pidana yang berlaku.
    Selain itu, keberadaan RUPBASAN masih di pandang sebelah mata oleh institusi lain dalam sistem peradilan pidana. Hal ini ditunjukkan dengan keengganan lembaga-lembaga lain untuk menyerahkan barang bukti kepada RUPBASAN. Banyak barang bukti yang tertahan di lembaga-lembaga penyidik baik kepolisian ataupun kejaksaan, namun demikian hal ini juga bukan semata-semata disebabkan oleh minimnya koordinasi antar lembaga dalam sistem peradilan pidana akan tetapi juga dikarenakan RUPBASAN sendiri memiliki banyak keterbatasan yang menyebabkan tugas pengelolaannya tidak berjalan.

B. PERMASALAHAN HUKUM

     Meskipun amanat dari Undang-undang No.8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, dan dijelaskan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP meletakkan RUPBASAN sebagai satu-satunya institusi yang melakukan pengelolaan BASAN dan BARAN ( yang kemudian diterjemahkan dalam tugas pokok dan fungsi RUPBASAN sebagai Pengelola Fisik dan Administrasi BASAN dan BARAN dalam rangka penegakan Hukum, Perlindungan Hak Kepemilikan dan Pengamanan Nilai Ekonomi ) belum dipahami dan disepakati oleh penegak hukum yang lain dalam Sistem Peradilan Pidana.

C. URAIAN MENGENAI PERMASALAHAN 

       Keberadaan RUPBASAN yang diharapkan ada di tiap kabupaten dan kota hingga saat ini belum dapat terwujud. Diseluruh Indonesia saat ini hanya berdiri 62 RUPBASAN, yang terdiri dari 34 RUPBASAN Kelas I dan 28 RUPBASAN Kelas II. Dalam hal Sumber Daya Manusia ( SDM ) baik kuantitas maupun kualitas, RUPBASAN memiliki banyak keterbatasan. Jumlah petugas di RUPBASAN masih dirasa kurang memadai, dimana saat ini jumlah pegawai RUPBASAN seluruh Indonesia berjumlah 1065 orang. Dari segi kualitas, dengan beragamnya BASAN / BARAN maka membutuhkan keahlian khusus dalam penanganannya, akan tetapi RUPBASAN saat ini tidak memiliki tenaga-tenaga ahli yang memiliki kemampuan khusus. Proses penaksiran dan penilaian mutu, serta pemeliharaan tentunya membutuhkan tenaga ahli yang dapat menjaga keutuhan dari barang tersebut. Tanggung jawab RUPBASAN yang sangat besar dalam menyimpan, mengamankan, dan memelihara saat ini belum disertai dengan kemampuan dalam menjamin keutuhan barang yang dikelolanya.
     Bangunan-bangunan RUPBASAN yang ada saat ini tidak memadai dan tidak memenuhi kebutuhan untuk pengelolaan. Kurangnya sarana dan prasarana yang dimiliki RUPBASAN terutama untuk gedung kantor dan gudang penyimpanan BASAN dan BARAN ( meliputi: gudang BASAN dan BARAN umum, terbuka, berharga, berbahaya, dan hewan ternak ) untuk kapasitas besar ( misalnya : kapal, kayu-kayu hasil penebangan ilegal ) beserta perlengkapan pendukung lainnya seperti alat ukur / timbangan dan alat angkut barang–barang berat dan besar ( forklift dan kraner ).
Selain itu terdapat keterbatasan ketiadaan dana khusus untuk perawatan dan pemeliharaan BASAN dan BARAN di RUPBASAN dan belum ada aturan khusus yang menyangkut batas waktu penitipan BASAN dan BARAN di RUPBASAN sehingga yang terjadi adalah penumpukkan BASAN dan BARAN yang bisa menghambat kerja RUPBASAN.

D. TANGGAPAN PENULIS

a. Parlemen dan Pemerintah perlu menetapkan undang-undang yang mendukung peningkatan       hubungan antar institusi dalam sistem peradilan pidana.
b. Keberadaan RUPBASAN diharapkan ada di tiap kabupaten dan kota diseluruh Indonesia
c. Perlu penelitian yang disertai dengan inventarisasi kebutuhan berskala nasional untuk penguatan RUPBASAN yang mendukung pemenuhan sarana dan prasarana, anggaran serta peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia ( SDM ) petugas.
d. Perlunya sosialisasi mengenai fungsi RUPBASAN dalam sistem peradilan pidana baik pada institusi penegak hukum maupun masyarakat luas.

Rabu, 16 September 2015

Problematika Regu Penjagaan Dalam Bertugas Di Lapas Baubau


A. LATAR BELAKANG

   Pada tahun 2012 para penghuni di Lembaga Pemasyarakatan ( LAPAS ) Kerobokan, Bali mengamuk dan membakar LAPAS. Hal tersebut terjadi disebabkan karena adanya diskriminsi terhadap penghuni dan juga kapasitas LAPAS yang sudah melebihi kuota yang seharusnya. Tidak hanya di Bali, kerusuhan juga terjadi di Medan, Sumatera Utara. Insiden pembakaran yang disusul kaburnya ratusan penghuni yang terjadi di LAPAS Tanjung Gusta, Medan, Sumatera Utara, dipicu oleh ketidakpuasan penghuni atas listrik yang mati sepanjang hari sehingga mengganggu suplai air dan sebagainya.
   Berita-berita di media masa, baik media cetak maupun elektronik yang memberitakan peristiwa tersebut diatas menyebabkan pengamanan di dalam Lembaga Pemasyarakatan jadi pembicaraan di dalam masyarakat, masyarakat mengklaim bahwa pengamanan di Lembaga Pemasyara¬katan kurang maksimal. Ibarat peribahasa “Panas Setahun Dihapus Hujan Sehari", akibat gangguan keamanan dan ketertiban di LAPAS Tanjung Gusta, Medan, Sumatera Utara inilah Direktur Jenderal Pemasyarakatan dan Sekretaris Direktorat Jenderal Pemasyarakatan diberhentikan dari jabatannya.
Kejadian tersebut menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi Aparatur Sipil Negara ( ASN ) yang bertugas di Lembaga Pemasyarakatan agar tidak terulang kembali, salah satu cara adalah dengan memahami dan melaksanakan tugas dan fungsi yang telah diatur dalam dalam Pasal 6 Peraturan Penjagaan Lembaga Pemasyarakatan ( P.P.L.P ); Tugas Regu Penjagaan ialah :
a. Menjaga supaya jangan terjadi pelarian;
b. Menjaga supaya tidak terjadi kericuhan;
c. Menjaga tertibnya peri kehidupan penghuni LP;
Menjaga utuhnya gedung dan seisinya, terutama setelah tutup kantor ( vide pasal 1 ayat c ).
   Pada prinsipnya fungsi keamanan di Lembaga Pemasyarakatan dimaksudkan untuk memberikan rasa aman kepada tahanan, narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Keamanan juga ditujukan untuk mencegah terjadinya kekerasan antar tahanan, narapidana dan anak didik pemasyarakatan, kekerasan kepada petugas dan pengunjung, dan mencegah terjadinya bunuh diri. Keamanan juga menjadi pendukung utama pencegahan pengulangan tindak pidana, pelarian, pencegah terjadinya kerusuhan atau pembakangan pada tata tertib, dan terhadap masuknya benda-benda yang tidak diperkenankan masuk kedalam hunian.
   Pengamanan juga diberikan pada tahanan, narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang berpindah tempat atau keluar untuk menjalani proses pemeriksaan tertentu, seperti pemeriksaan di pengadilan, kesehatan, dan keperluan lainnya. Pelaksanaan pengamanan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau tidak dapat dipisahkan dari kepentingan Lapas untuk mengawal proses pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan dan menjaga tahanan dengan mengedepankan asas praduga tak bersalah.
   Dalam melaksanakan fungsi pengamanan terdapat beberapa hal yang harus menjadi perhatian petugas keamanan, di mana pengamanan dengan tindakan yang berlebihan dengan mengabaikan hak-hak dasar akan berdampak pada terganggunya keamanan dan ketertiban masyarakat di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau . Pengamanan yang tidak memperhatikan hak dasar tahanan, narapidana dan anak didik pemasyarakatan rentan akan pembangkangan, ketidakpatuhan dan kerusuhan.
   Pada konteks tersebut diatas maka keseimbangan antara keamanan dengan proses integrasi masyarakat, utamanya kepentingan tahanan, narapidana dan anak didik pemasyarakatan menjadi perspektif yang harus dimiliki petugas. Diperlukan pula keseimbangan antara keamanan dengan hak dasar yang tidak boleh dihambat, serta keseimbangan antara keamanan dengan kebutuhan dasar tahanan seperti makan, kesehatan, aktivitas, keagamaan dan lainnya harus berjalan seiring. Keseimbangan dimaksud tentu tidak mengenyampingkan tata tertib di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau yang senantiasa evaluasi dan ditegakkan.
   Selain itu, Lembaga Pemasyara¬katan Klas IIA Bau-Bau menerapkan pola Super Maximum Security yang diberikan pada tahanan, atau narapidana dengan kejahatan tertentu. Namun demikian, sedapat mungkin pengamanan Super Maximum Security juga diimbangi dengan pemenuhan hak-hak dasar manusia. Harus dipahami bahwa setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara manusiawi dan dihormati harkat martabatnya.
Aspek lainnya adalah persoalan bangunan sangat menunjang sistem pengamanan, misalnya kekuatan dan tingginya tembok pembatas, menara, pintu, kekuatan jeruji besi jendela, pintu kamar, termasuk juga rutinitas petugas dalam mengunci kamar hunian.

B. PERMASALAHAN

     Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka yang menjadi permasalahan adalah
1. Bagaimanakah Mekanisme Penjagaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau ?
2. Faktor-Faktor Apakah Yang Menghambat Tugas Penjagaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA     Bau-Bau ?

C. METODE PENULISAN

   Penulisan makalah ini menggunakan cara sebagai berikut : mengumpulkan data melalui observasi, metode ini menggunakan pengamatan atau penginderaan langsung terhadap kondisi yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau, proses tugas penjagaan, situasi di dalam blok hunian Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau dan perilaku petugas jaga, warga binaan, tahanan. Setelah data terkumpul lalu diolah dengan pendekatan analitis ( analytical approach ). Maksud utama analisis terhadap bahan hukum adalah untuk mengetahui makna yang dikandung dalam Peraturan Penjagaan Lembaga Pemasyarakatan ( PPLP ) secara konsepsional, sekaligus untuk mengetahui penerapannya di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau.

D. MEKANISME PENJAGAAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA BAU-BAU.

   Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau mempunyai dua fungsi yakni sebagai tempat pembinaan warga binaan pemasyarakatan dan perawatan tahanan sehingga pada dasarnya ada pembedaan dalam pola pengamanan antara warga binaan pemasyarakatan dan tahanan ( penghuni ). Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau mengunakan empat pola pengamanan yang diterapkan terhadap penghuni, yaitu :
   Maximum Security, yaitu sistem pen¬gamanan yang diterapkan terhadap para warga binaan yang baru saja divonis oleh hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Dalam hari-hari pertama menjalani masa pidananya yaitu sekitar 15 hari sampai 30 hari sebagai warga binaan, mereka diperkenalkan dengan lingkungan atau diorientasi tentang keadaan didalam Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau. Masa pengamanan maximum security ini berlangsung sampai dengan sekurang-kurangnya 1/3 dari masa pidananya.
   Dalam masa ini tingkat pengamanan terhadap mereka merupakan prioritas utama, segala tingkah laku dan gerak-gerik mereka selalu diawasi dalam rangka memulihkan keadaan mereka dengan mengadakan pendekatan moral agar mereka menyadari kesalahan mereka dan tidak berniat untuk melakukan hal-hal yang dapat menganggu keamanan dan ketertiban didalam Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau.
   Medium Security, yaitu sistem pengamanan yang diterapkan kepada para warga binaan yang telah menjalani 1/3 sampai ½ dari masa pidananya. Dalam masa ini tingkat pengamanan terhadap mereka adalah pengamanan yang normal atau biasa-biasa saja, karena mereka telah dibarengi dengan pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau.
   Minimum Security, yaitu sistem pengamanan yang diterapkan kepada narapidana yang telah menjalani ½ sampai 2/3 dari masa pidananya. Tingkat pengamanan yang diterapkan terhadap merekapun sudah semakin kecil, karena mereka sudah dipercaya tidak akan melakukan hal-hal yang dapat menganggu keamanan dan ketertiban didalam Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau. Pola pembinaan yang diterapkan terhadap merekapun sudah sampai pada pembinaan diluar tembok Lembaga Pemasyarakatan, seperti pemberian assimilasi, pembebasan bersyarat dan cuti bersyarat.
   Sedangkan Super Maximum Security di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau diberlakukan terhadap tahanan karena Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau selain berfungsi sebagai tempat pembinaan warga binaan pemasyarakatan juga berfungsi sebagai Rumah Tahanan Negara (Rutan).
   Dalam sistem Pemasyarakatan, Rumah Tahanan Negara (Rutan) merupakan tempat untuk menampung orang-orang yang sedang menunggu proses persidangan pidana. Rutan sebagaimana dalam pasal 1 ayat (2) dan pasal 18 hingga pasal 25 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah tempat ditahannya tersangka dan terdakwa selama menjalani proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan pada tingkat pertama, pada tingkat banding dan kasasi.
   Upaya penahanan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 1999 tentang Syarat-syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan adalah tindakan penahanan atas seorang pelaku tindak pidana yang pada dasarnya hanya berbentuk perampasan hak untuk bergerak. Namun, tindakan penahanan ini menurut KUHAP harus berdasarkan asas praduga tak bersalah. Artinya, perlakuan seorang petugas pemasyarakatan terhadap tahanan tidak boleh berada diatas prasangka bersalah, sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
   Oleh karena itu, peran utama sebuah Rutan adalah menjaga dan melindungi hak-hak asasi manusia seorang tersangka dan terdakwa dengan bentuk-bentuk sebagai berikut :
1. Memperlancar proses pemeriksaan baik pada tahap penyidikan maupun pada tahap penuntutan dan pemeriksaan di muka pengadilan;
2. Melindungi kepentingan masyarakat dari pengulangan tindak kejahatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana yang bersangkutan; atau
3. Melindungi si pelaku tindak pidana dari ancaman yang mungkin akan dilakukan oleh keluarga korban atau kelompok tertentu yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan.
   Pada prinsipnya konsep perawatan merupakan cara bagi petugas penjagaan untuk memberikan pelayanan terhadap kebutuhan dasar seorang tahanan. Seorang tahanan harus diperlakukan sebagaimana ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-syarat dan       Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan. Ketentuan ini mengatur secara rinci tentang tahapan-tahapan perawatan dari sejak penerimaan hingga dikeluarkannya tahanan karena habis masa tahanan atau telah dijatuhi hukuman yang berkekuatan hukum tetap.
   Sangat penting bagi petugas penjagaan untuk memahami prinsip yang diatur dalam Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners ( SMRTP ) dan Pasal 15 huruf e Peraturan Penjagaan Lembaga Pemasyarakatan ( PPLP ) : “Dilarang bertindak sewenang-wenang terhadap penghuni LP”, sehingga tindakan-tindakan negatif seperti merendahkan martabat manusia dan kekerasan dapat dihindari.
   Berkaitan dengan mekanisme melakukan pengamanan terhadap warga binaan dan tahanan ( penghuni ) di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau mengunakan cara regu penjagaan dibagi menjadi 4 (empat) regu penjagaan yang masing-masing regu terdiri dari 6 ( enam ) personil dan dikepalai oleh seorang komandan jaga dan dibantu oleh 1 orang wakil komandan yang bertugas kontrol keliling ( trolling ) . Kelima personil tersebut menempati posnya masing-masing selama jam tugas penjagaan,
   Dalam melakukan pengamanan terhadap penghuni terdapat lima pos yang digunakan sebagai tempat penjagaan antara lain adalah:
     Pertama, Pos Utama yaitu tempat komandan jaga yang bertugas :
1. Mengatur tugas semua petugas penjagaan yang menjadi tanggung jawabnya;
2. Mengerjakan buku jaga, mencatat pembagian tugas, inventaris, intruksi-intruksi, kejadian-kejadian dan lain sebagainya;
3.Mengawasi dan meneliti penjagaan meliputi pos-pos, kamar-kamar, tempat bekerja dan sebagainya;
4. Mengawasi dan meneliti tata tertib pembagian makan, kebersihan, lampu-lampu dan sebagainya;
5. Dalam hal ada kericuhan mengambil langkah-langkah pengamanan pertama dan segera melapor ke atasan dan lain-lain instansi yang diperlukan;
6. Wajib memeriksa dan meneliti sah tidaknya surat-surat putusan, surat perintah penahanan atau surat ketetapan ( beschikking ) bagi orang-orang yang akan masuk L.P;
7. Memeriksa dan meneliti semua izin keluar bagi penghuni L.P.
     Kedua, Pos I ( Pintu Gerbang 2 ) yaitu tempat penjagaan dipintu gerbang yang menghubungkan langsung dengan bagian dalam Lembaga Pemasyaraka-tan Klas IIA Bau-Bau. Petugas pintu gerbang 2, bertugas:
1. Membuka dan menutup pintu gerbang 2;
2. Menjaga jangan ada penghuni Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau keluar dari Lapas dengan tidak sah;
3. Menjaga agar jumlah penghuni Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau yang diterima diruang pintu gerbang 2 seimbang dengan kekuatan penjagaan di pintu gerbang 2;
4. Memeriksa dan meneliti keluar / masuknya barang-barang dari / ke lingkungan.
     Ketiga, Pos II ( Pos Atas / Menara ) yaitu tempat-tempat penjagaan yang ada disekitar tembok keliling, yang bertugas :
1. Menjaga agar tidak ada penghuni Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau yang melarikan diri lewat tembok keliling;
2. Menjaga agar tidak ada orang yang tidak berkepentingan mendekati tembok keliling;
3.Dalam hal ada penghuni Lembaga Pemasyarakatan melarikan diri melalui tembok keliling, berturut-turut memberikan isyarat tanda bahaya, dan memberi perintah untuk menghentikan pelarian;
4.Jika tidak diindahkan memberi tembakan peringatan ke atas sebanyak tiga kali, jika tidak juga diindahkan langsung menembak kakinya.
     Keempat, Pos III ( Lantai Bawah ), jumlah kamar hunian lantai bawah sebanyak 21 kamar yang dibagi 2 kamar untuk penghuni wanita , 1 kamar yang dijadikan blok anak, 1 kamar yang dijadikan blok tipikor dan 1 kamar yang dijadikan blok narkoba, 16 kamar untuk penghuni pria.
Kelima, Pos IV ( Lantai Atas ), jumlah kamar hunian lantai atas dibagi 11 kamar dengan jumlah kapasitas kamar hunian seluruhnya adalah 85 orang. Petugas jaga yang bertugas di Pos III ( Lantai Bawah ) dan Pos IV ( Lantai Atas ), bertanggung jawab atas :
a. Pembagian makanan, kebersihan, lampu-lampu dan sebagainya;
b. Keluar / masuk penghuni dari lingkungannya;
c. Pelepasan penghuni tepat pada waktunya;
d. Pembukaan dan penutupan kamar hunian;
e. Keluar / masuk barang-barang dari / ke lingkungannya.

E. Faktor – Faktor Yang Menghambat Tugas Penjagaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas            IIA Bau-Bau.

     Regu penjagaan mengalami beberapa hambatan dalam melakukan proses pengamanan terhadap penghuni. Hal ini disebabkan dua problem yakni :

1. Kurangnya jumlah petugas penjagaan

     Jumlah petugas penjagaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau hanya berjumlah 24 orang dari total 79 orang jumlah pegawai Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau. Walaupun sudah ada petugas-petugas khusus penjagaan, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau menunjuk 2 orang pegawai wanita yang bertugas menjaga penghuni blok wanita yang berjumlah 18 orang, mereka bertugas dari jam 07.30 wita sampai dengan jam 18.00 wita Jumlah petugas jaga bila dibagi dengan jumlah penghuni Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau yang saat ini ( 12-9-2015 ) dengan jumlah penghuni 457 orang – 18 orang = 439 orang : 6 orang = 73 orang, maka masing-masing petugas jaga menjaga penghuni sebanyak 73 orang.
     Untuk mengatasi kekurangan petugas jaga, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau yang bertanggung jawab terhadap keamanan dan ketertiban, membentuk piket pagi, siang dan malam. Adapun tugas piket ini adalah untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan Penjagaan Lembaga Pemasyarakatan ( PPLP ).

2. Daya Tampung Kamar – Kamar Hunian

     Permasalahan lain yang terdapat di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau adalah mengenai daya tampung kamar-kamar hunian yang sudah tidak dapat menampung karena kelebihan penghuni. Jumlah kapasitas Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau adalah 249 orang sedangkan jumlah penghuni saat ini ( 12-9-2015 ) berjumlah 457 orang, ini berarti Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau kelebihan 208 orang.
     Percampuran tahanan dengan warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau adalah salah satu penyebab kelebihan penghuni, jumlah tahanan pada bulan Agustus sebanyak 181 orang. Selain menyebabkan kelebihan kapasitas, perlakuan percampuran tahanan dengan warga binaan terkadang petugas jaga tidak bisa membedakan yang mana masih tahananan dan yang mana sudah warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau. Hal ini menyebabkan petugas jaga yang bertugas di Pos III ( Lantai Bawah ) dan Pos IV ( Lantai Atas ) tidak bisa menjaga terpisahnya golongan penghuni LP sedangkan tugas ini adalah perintah Peraturan Penjagaan Lembaga Pemasyarakatan ( PPLP ), yang dimuat dalam Pasal 17 huruf f “Menjaga tetap terpisahnya golongan penghuni LP, ( Pria, Wanita, anak-anak, yang harus diasingkan dan sebagainya )”.

F. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

     Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau menggunakan pola pengamanan yang berjenjang tergantung masa pidana yang telah di jalani oleh warga binaan tersebut, adapun pola pengamanan untuk warga binaan ini meliputi Maximum Security, Medium Security, dan Minimum Security.
     Maximum Security, yaitu sistem pengamanan yang diterapkan terhadap para warga binaan yang baru saja divonis oleh hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Dalam hari-hari pertama menjalani masa pidananya yaitu sekitar 15 hari sampai 30 hari sebagai warga binaan, mereka diperkenalkan dengan lingkungan atau diorientasi tentang keadaan didalam Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau. Masa pengamanan maximum security ini berlangsung sampai dengan sekurang-kurangnya 1/3 dari masa pidananya.
     Dalam masa ini tingkat pengamanan terhadap mereka merupakan prioritas utama, segala tingkah laku dan gerak-gerik mereka selalu diawasi dalam rangka memulihkan keadaan mereka dengan mengadakan pendekatan moral agar mereka menyadari kesalahan mereka dan tidak berniat untuk melakukan hal-hal yang dapat menganggu keamanan dan ketertiban didalam Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau.
     Medium Security, yaitu sistem pengamanan yang diterapkan kepada para warga binaan yang telah menjalani 1/3 sampai ½ dari masa pidananya. Dalam masa ini tingkat pengamanan terhadap mereka adalah pengamanan yang normal atau biasa-biasa saja, karena mereka telah dibarengi dengan pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau.
   Minimum Security, yaitu sistem pengamanan yang diterapkan kepada narapidana yang telah menjalani ½ sampai 2/3 dari masa pidananya. Tingkat pengamanan yang diterapkan terhadap merekapun sudah semakin kecil, karena mereka sudah dipercaya tidak akan melakukan hal-hal yang dapat menganggu keamanan dan ketertiban didalam Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau.           Pola pembinaan yang diterapkan terhadap merekapun sudah sampai pada pembinaan diluar tembok Lembaga Pemasyarakatan, seperti pemberian assimilasi, pembebasan bersyarat dan cuti bersyarat.
Sedangkan Super Maximum Security di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau diberlakukan terhadap tahanan karena Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau selain berfungsi sebagai tempat pembinaan warga binaan pemasyarakatan juga berfungsi sebagai Rumah Tahanan Negara (Rutan).
Dalam sistem Pemasyarakatan, Rumah Tahanan Negara (Rutan) merupakan tempat untuk menampung orang-orang yang sedang menunggu proses persidangan pidana. Rutan sebagaimana dalam pasal 1 ayat (2) dan pasal 18 hingga pasal 25 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah tempat ditahannya tersangka dan terdakwa selama menjalani proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan pada tingkat pertama, pada tingkat banding dan kasasi.
  Tujuan dari pola pengamanan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau tersebut untuk memudahkan regu penjagaan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi sebagaimana diatur dalam dalam Pasal 6 Peraturan Penjagaan Lembaga Pemasyarakatan ( P.P.L.P ); Tugas Regu Penjagaan ialah :
a. Menjaga supaya jangan terjadi pelarian;
b. Menjaga supaya tidak terjadi kericuhan
c. Menjaga tertibnya peri kehidupan penghuni LP;
d. Menjaga utuhnya gedung dan seisinya, terutama setelah tutup kantor ( vide pasal 1 ayat c ).
  Dalam melakukan proses pengamanan terhadap penghuni, regu penjagaan menghadapi dua problem, yakni :
1. Kurangnya jumlah petugas penjagaan;
2. Daya Tampung Kamar – Kamar Hunian.

2. Saran

1. Penambahan jumlah petugas penjagaan;
2. Relokasi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bau-Bau.